DUNIA politik pada hakikatnya memang penuh intrik, drama dan tak segan mengelabui siapapun pihak. Hal ini sepertinya perlu dilakukan demi memuluskan kepentingannya.
Selain tiga faktor di atas, dalam politik juga tak segan menyerang lawan jika sekiranya mengancam eksistensi si aktor politik atau partai politik itu sendiri. Tak peduli, serangannya ini sesuai pada tempatnya atau tidak, yang penting pesan dari bentuk perlawanannya tersampaikan pada publik. Dengan harapan, publik sendiri percaya bahwa apa yang dilakukan pihak yang diserang itu sesuai dengan apa yang dikatakan pihak penyerang.
Contoh kasus teranyar dari peristiwa politik di atas, terjadi langsung pada Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini. Mantan Wali Kota Surabaya ini sejak dilantik oleh Presiden Jokowi tersebut sebagai Mensos langsung mendapat serangan politik dari segenap penjuru arah mata angin.
Diketahui, begitu dikukuhkan sebagai orang paling bertanggungjawab di Kementrian Sosial menggantikan Juliari Batubara, Risma---sapaan akrab Tri Rismaharini langsung bergerak cepat. Hal pertama yang dilakukannya adalah blusukan di beberapa wilayah Kota Jakarta.
Di wilayah ibu kota negara tersebut, Risma blusukan ke daerah-daerah kumuh, seperti halnya kolong jembatan. Di sana banyak ditemukan para pemulung, gelandangan dan pengemis (Gepeng), anak-anak putus sekolah dan pengamen.
Sebagai Mensos, Risma langsung tergerak hatinya. Dia lantas berjanji dan memberi solusi pada para penghuni kolong jembatan supaya kehidupannya lebih layak. Contohnya, Risma akan berupaya memberdayakan para isteri pemulung untuk berjualan pecel lele, dan akan bagi anak-anak putus sekolah disuruh kembali belajar dan diberi beasiswa.
Tak hanya itu, Risma pun blusukan ke sekitaran Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat. Di sana, dia menemukan beberapa orang tunawisma. Kembali, Risma pun memperlihatkan kepeduliannya dengan cara menampung mereka di tempat penampungan.
Sontak, aksi blusukan Risma ini menuai apresiasi publik. Risma dinilai sungguh-sungguh menjalankan amanah, punya integritas tinggi, dan mampu bertanggungjawab penuh sebagai pejabat negara.
Namun, apa yang dilakukan Risma ini dari kacamata politik, khususnya dari pihak yang kepentingannya merasa terusik, dianggap sebaliknya. Alih-alih mendapat apresiasi, Risma malah dicibir, dicela, difitnah dibenci, dijatuhkan, dihajar habis-habisan dan dianggap sebagai musuh bersama.
Tidak tanggung, yang bereaksi negatif terhadap aksi Risma ini datang dari politisi-politisi elite dan juga tokoh nasional. Misal, Fadli Zon, Ahmad Riza Patria, Hidayat Nur Wahid, Said Didu dan Rocky Gerung. Dengan entengnya mereka rata-rata menilai aksi blusukan Risma hanya demi pencitraan semata. Bahkan, khusus untuk kasus penemuan para tunawisma di Jalan Sudirman-Thamrin tuduhan terhadapnya lebih pedas. Risma dianggap mengada-ada dan bermain drama.
Salah seorang yang membantah adanya tunawisma di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin ini adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. Menurutnya, sejak dia masih kecil hingga menjadi seorang pejabat publik tidak pernah melihat adanya para gelandangan di tempat tersebut.