"Duh, gara-gara korona ripuh kang ayeunamah."
(duh, gara-gara ada virus corona, sekarang repot kang)
PENGAKUAN itu terlontar dari seorang sopir angkutan umum (Angkot), yang kebetulan tengah beristirahat di warung kopi, tak jauh dari tempat tinggal penulis.
Jujur saja, entah sudah berapa puluh kali, keluh kesah atau ungkapan serupa sopir angkot ini penulis dengar. Baik itu dari pedagang asong, pedagang bakso malang, hingga tukang Ojek Online (Ojol) yang dalam beberapa bulan terakhir ini marak di Sumedang, Jawa Barat.
Mendengar hal ini, penulis hanya bisa tersenyum kecut dan tak mampu memberikan solusi apapun. Hanya dalam hati berharap, semua ini cepat berlalu.
Ya, semenjak pandemi virus corona atau covid-19 menyerang tanah air dan pemerintah menerapkan atau lebih tepatnya memberlakukan social distancing dan work from home, untuk kemudian diganti dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kehidupan ekonomi ibarat roda pedati yang sulit berputar karena terperosok pada tanah lubang cukup dalam. Tidak ada tenaga atau energi untuk menggerakan, aktifitas lumpuh.
Artinya, di situasi yang serba sulit ini hampir mayoritas kehilangan pendapatan, sementara kebutuhan dan pengeluaran harus terus berjalan.
Itu yang terjadi pada masyarakat kelas bawah yang masih mengandalkan akrivitas sehari-hari untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagiamana dengan masyarakat kelas menengah?
Penulis rasa masih setali tiga uang. Dengan himbauan social distancing dan work from home, mana ada orang berani keluar untuk berliburan, tempat-tempat rekreasi, penginapan tutup, sebagian pabrik atau perusahaan tutup dan meliburkan ribuan karyawannya.
Bahkan, di Sumedang kabarnya ada satu perusahaan yang belum bisa menggaji karyawannya, karena hasil produksinya tidak ada yang membeli.
Kendati demikian, penulis sangat yakin bahwa hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan berlaku di seluruh dunia. Khususnya bagi negara-negara terdampak virus covid-19.