Lihat ke Halaman Asli

Cerita Kisruh KPK dan Tukang Parkir

Diperbarui: 17 September 2019   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

CERITA demi cerita tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari sejak lahir hingga berumur 17 tahun, seakan tak ada habisnya. Entah apa yang salah dengan lembaga antirasuah ini hingga terus "dimusuhi" politisi senayan, dari tahun ke tahun. 

Terbaru, RUU KPK menjadi judul utama dalam drama KPK kali ini. Apakah bencinya anggota DPR RI ini karena tindakan KPK tidak pernah pandang bulu? Penulis rasa tidak juga. Masih banyak pekerjaan rumah yang masih belum bisa dituntaskan sampai sekarang. Kasus Bank Century dan kasus Bantuan Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) nyatanya masih mangkrak. Atau mungkin selalu menyisir anggota DPR? Itupun sama sekali tidak. Sudah banyak, koruptor-koruptor non anggota dewan yang di gelandang jadi pesakitan di ruang tahanan KPK.

Yang penulis lihat, dengan adanya KPK sebagai lembaga independen, sedikitnya menutup ruang gerak para politisi senayan yang notabene sebagai anggota partai politik. Seperti kita tahu, partai politik bukanlah organisasi komersil yang mampu mencetak uang. Namun, dalam menjalankan organisasi ini, uang justeru menjadi peranan penting demi eksistensi dan perkembangan partai politik. Jadi, tak ada jalan lain selain membebankan keuangannya pada seluruh anggota partai yang lolos ke kursi parlemen.  

Tak hanya politisi senayan, politisi daerah pun dibebani hal serupa. Tentu nilainya berbeda. Nah, dari beban-beban ini, kadang menjadikan para anggota dewan mencari sumber dana dari luar. Ini yang menjadikan mereka (anggota dewan) salah kaprah dan menabrak aturan hukum demi mendapatkan uang instant dengan jumlah cukup besar. Telah banyak contoh, anggota dewan yang terjebak dalam kasus gratifikasi atau suap menyuap.

Lalu apa hubunganya dengan tukang parkir? Sebenarnya tidak ada sama sekali. Cuma penulis ingin sedikit berbagi tentang pengamalan penulis di lapangan.

Sedang asik menikmati kopi, di warung kopi sebrang gedung DPRD II Sumedang. Penulis melihat tukang parkir sedang sibuk menjalankan profesinya. 

Pemandangan yang biasa penulis lihat tiap hari. Namun, entah kenapa waktu itu ada keinginan penulis untuk sekedar iseng menanyakan surat tugasnya. Dengan sigap, si juru parkir menyodorkan surat tugas tersebut. Setelah dibaca sepintas, memang benar surat tugas itu dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan Sumedang. Setelah yakin, bahwa juru parkir ini legal. 

Kembali, penulis iseng menanyakan nilai pungutan terhadap pengendara roda dua ataupun roda empat yang menggunakan sarana atau jalan umum sebagai lahan parkir. Dengan gamblang juru parkir itu mengaku, setiap kendaraan bermotor dipungutnya minimal Rp. 2000, sedangkan untuk roda empat minimal Rp. 5000.

Mendengar jawaban polos si juru parkir, penulis sedikit mengernyitkan dahi. 

Sepengetahuan penulis, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 8 Tahun 2000 tentang pungutan retribusi larkir di tepi jalan umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 24 Tahun 2003 BAB XV Pasal 22, bahwa ketentuan pungutan parkir untuk roda dua sebesar Rp. 500, sedangkan roda empat sebesar Rp. 2000.

Penulis coba mengorek lebih jauh, tentang berapa jumlah uang yang disetorkan pada Dinas perhubungan setiap harinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline