CABANG olahraga bulutangkis adalah cabang olahraga primadona bagi negara Indonesia. Cabang olahraga tepok bulu ini pernah berjaya dan merajai dunia. Baik itu beregu maupun perorangan. Masih lekat dalam ingatan penulis, di sektor putra kita mempunyai nama-nama tenar seperti, Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk Sugiarto, Christian Hadinata, Tjun-tjun/Johan Wahyudi, Alan Budi Kusuma, Ardi B Wiranata, Taufik Hidayat dan sederet nama beken lainnya.
Nama-nama di atas terus menghiasi fodium kemenangan. Thomas cup digondol untuk beregu. All England dan kejuaraan tunggal putra badminton world series lainnya juga mereka raih termasuk kejuaaran dunia.
Sementara di sektor putri, nama Susi Susanti jelas ada pada daftar pertama dalam kancah bulutangkis wanita. Baik itu di Nusantara maupun dunia. Dia juga pebulutangkis wanita pertama dan terkahir Indonesia (setidaknya sampai sekarang) yang pernah meraih medali emas Olympiade bersama Alan Budi Kusumah di sektor tunggal putra, pada Olympiade Barcelona tahun 1992.
Selain itu, banyak juga atlit lainnya yang mendulang banyak prestasi dan mengharumkan nama bangsa. Sebut saja Ivana Lie, Rosiana Tendean, Verawati Pajrin, Maria Christin dan
Mia audina. Sayang nama terakhir yang diharapkan pengganti sepadan Susi Susanti ini malah pindah kewarga negaraan, Belanda.
Tak bisa ditampikan, nama-nama pebulutangkis yang penulis sebut di atas adalah nama-nama legenda perbulutangkisan dunia. Tapi sayang itu semua tinggal memori indah semata. Betapa tidak, Piala Thomas Cup yang biasanya jadi langganan juara kini mungkin hanya mimpi. Terakhir kali kita meraih gelar prestisius ini pada tahun 2002. Sektor putri lebih mengenaskan. Piala Uber tahun 1996 adalah gelar terakhir yang berhasil kita raih. Selebihnya kita hanya jadi pelengkap derita.
Lalu apa kabar dengan kejuaraan beregu campuran atau lebih dikenal dengan piala Sudirman?..prestasi di kejuaraan ini malah lebih parah. Indonesia baru sekali meraih gelar. Itu pun sudah hampir tiga dekade lalu, waktu kejuaraan ini untuk pertama kalinya digelar pada tahun 1989. Mia Audina yang waktu itu masih belia menjadi pahlawan kemenangan. Dia mengalahkan tunggal putri Korsel yang jauh lebih diunggulkan. Indonesia menang dengan skor ketat, 3-2.
Regenerasi Kurang Optimal
Paska gantung raketnya nama-nama tenar bulutangkis yang disebutkan di atas. Prestasi bulutangkis nasional kian lama kian merosot. Menurut hemat penulis ini lebih dikarenakan proses pembinaan dan regenerasi yang kurang optimal.
Saat ini hanya sektor ganda putra yang prestasinya masih stabil. Dari tahun ke tahun selalu muncul bibit-bibit baru yang prestasinya mendunia. Bahkan, pasangan minions (Kevin Sanjaya/Markus Gideon) menjadi rangking 1 dunia saat ini. Prestasi-pretasi apik terus mereka torehkan. Terakhir mereka sukses mengharumkan nama bangsa pada event Asian Games Jakarta, dengan meraih medali emas. Itu untuk kejuaraan multi event. Untuk prestasi perorangan yang di agendakan BWF, The Minions juga garang.
Mereka sukses menyabet beberapa gelar prestisius sepanjang tahun 2019. Meski gagal di kejuaraan dunia yang digelar belum lama ini, Indonesia tidak lantas kehilangan muka. Pasangan senior Hendra/Akhsan datang sebagai penyelamat. Ini membuktikan sektor ganda putra masih jadi yang terbaik di dunia, mengikuti jejak seniornya.
Seperti Rexy Mainaki/Ricki Subagja, Markis Kido/Hendra Setiawan, Chandra Wijaya/Toni Gunawan, Edi Hartono/Rudi Gunawan. Lebih jauhnya ada pasangan Tjun tjun/ Johan Wahyudi dan Ade Candra/Christian Hadinata.
Lalu bagaimana dengan prestasi sektor lainnya?...ini yang dimaksud penulis, regenerasi mandek. Indonesia belum mampu lagi membawa piala beregu. (Thomas, Uber dan Sudirman). Lantaran Peta kekuatan diluar sekror ganda putra masih kalah oleh pebulutangkis negara lain. Paling hanya ganda campuran yang bisa mendekati prestasi ganda putra. Itupun ketika Liliana Natsir (Butet) yang berpasangan dengan Tamtowi Ahmad masih aktip. Paska di tinggalkan Butet, Tamtowi yang dipasangkan dengan Winny Oktavina Kandow belum lagi menorehkan prestasi maksimal.