Lihat ke Halaman Asli

Orang Gila

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku lapar! entah mengapa selalu merasa lapar, dan rasanya napsu ini tak pernah terpuaskan. Aku harus kembali menyusuri jalan, sudah pasti untuk menuntaskan rasa lapar. Sempat terngiang ucapan orang bijak yang pernah aku temui dulu.

"Kosongkan dulu perutmu agar kamu bisa merasakan bagaimana orang lain lapar. Kamu tidak bisa merasakan bagaimana orang lain kelaparan, jika kamu kenyang atau hanya berpura pura lapar. Tidak bisa berpura pura susah untuk sekedar mengerti kesusahan orang lain. Akan tetapi, kamu bisa mengerti kesusahan orang lain dengan membaca, mendengarkan, memahami lalu kamu bertindak nyata."

Ah..., persetan dengan omongan orang itu! Bagiku yang terpenting saat ini adalah, menuntaskan rasa lapar. Aku mengadahkan tanganku pada gedung gedung tinggi yang menjulang, tetapi mereka diam. Aku mengadahkan tanganku pada jalan jalan berdebu, pada mobil mewah dan rumah megah, tetapi mereka juga diam. Aku mengadahkan juga tanganku pada wajah wajah yang tersenyum terpampang sepanjang jalan, terpampang di seribu pepohonan dan sejuta baliho yang tegak menantang. Tapi wajah wajah itu hanya diam tak memberi, wajah wajah itu hanya mau meminta, wajah wajah pengemis dalam jubah kebesaran yang beraneka warna.

Aku menangis, tersenyum, tertawa kemudian diam. Lalu dengan memakai senyuman, aku berjalan menghampiri pedagang di trotoar, tetapi mereka mengusirku. Aku menghampiri tukang becak, mereka juga mengusirku. Kemudian aku menghampiri siapapun yang ada di jalanan, buruh, guru, petani, pegawai, penganguran, mahasiswa, preman pasar dan semuanya kuhampiri. Tetapi mereka juga mengusirku. "Huss...Pergi kau orang gila! Dasar orang gila! Enyah kau dari sini!" Begitulah cara mereka mengusirku.

Kemudian aku duduk di emperan sebuah toko. Sayup sayup aku mendengar mereka mengeluh, semua orang disekitarku mengeluh, dan aku juga mengeluh. Tetapi aku tak tau kepada siapa aku mengeluh, kepada Tuhan? atau kepada setan yang tersenyum diam?.

Kemudian aku mendengar juga keluhan seseorang dari sebuah televisi yang menyala di dalam toko. Aku menikmati keluhan dalam televisi itu, keluhan tentang upaya pembunuhan dirinya, keluhan tentang sikap sinis media, keluhan tentang orang yang berharap pesawat yang ditumpanginya jatuh, keluhan tentang bla bla bla, dan aku tertawa dan aku menikmati.

Aku terus tertawa, semakin keras dan semakin keras. Orang orang semuanya melihat ke arahku, ada yang memaki, ada yang tak perduli, ada yang iba. Tiba tiba, salah satu dari mereka berteriak "Hey! Aku kenal orang gila itu! Itu pak Sengkuni, calon presiden kita! Beliau sedang menyamar menjadi orang gila!".

Dalam sekejab, orang orang mengelilingiku, mengelu-elukanku. Kamera kamera wartawan menyoroti wajahku yang dekil. Perlahan, aku mengusap wajahku yang kotor, membuka topeng gila milikku, walaupun sesungguhnya topeng gila ini tidak bisa lepas dariku. Aku masih tetap gila, masih tetap lapar. Kini wajahku terlihat bersih, dan tanpa mereka sadari, aku sudah mengenakan topeng bijaksana, lalu aku tersenyum sambil menyapa mereka. Kemudian aku menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan padaku. "Demi rakyat!" ucapku, lalu aku tertawa keras dalam hati HaHaHa

***

Rembang, 23 Februari 2014

Selamat berakhir pekan Salam Elang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline