"Tidak bolehkah aku mengetahui namamu, setidaknya jika aku mati, aku tau dengan siapa di saat terakhirku".
"Namaku Raka"
"Hai Raka...mungkin jika situasinya berbeda, kita bisa bersahabat lebih dekat"
"Mungkin saja nona"
"Hey...sudah kubilang, panggil saja aku Selsa. Jika takdir memihak padaku, suatu saat aku ingin mengajakmu minum kopi"
Mereka berdua kembali melanjutkan makan malam yang sempat terhenti. Kemudian Selsa berbicara kembali
"Kamu pintar memasak, dan aku rasa kamu juga pintar melukis. Aku yakin, semua lukisan yang ada di rumah ini adalah karyamu"
"Darimana kamu tau?"
"Ada inisal R di setiap lukisan, itu inisialmu kan?"
Lelaki yang bernama Raka itu hanya diam.
"Maukah kau melukis diriku? Ayolah...sebelum aku mati"
Raka terdiam sejenak, kemudian dia pergi meninggalkan meja makan. Tak berapa lama, dia sudah kembali dengan membawa kanvas dan cat.
***
Gadis cantik itu masih terduduk di atas tempat tidur, tangannya terikat erat sedangkan mulutnya tertutup oleh plester. Terlihat sorot ketakutan bercampur dengan kemarahan di matanya, tapi dia hanya bisa pasrah menanti apa yang akan terjadi dengan dirinya.
"Akan kubuka plester di mulutmu, tapi aku tak ingin mendengar kamu berteriak seperti tadi, atau mulutmu aku bungkam selamanya!"
Gadis itu mengangguk mengiyakan, dia tak punya pilihan lain.
Sreett!