20 Oktober 2017, hari besar beringin tua menjelang pada masa-masa nan sayu dan layu, pada siklus kehidupan, daun kering berguguran berganti pucuk daun. 53 tahun sudah berdiri kokoh di tanah pertiwi, menjaga setiap anak bangsa pada nilai kekaryaan dan ideologi Pancasila dengan teduh pada pucuk daun dan akar yang menjuntai.
Golkar adalah anugerah bagi ibu pertiwi, Golkar terdepan menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa, dan Golkar adalah pembawa angin perubahan yang menyejukkan bagi bangsa ini dalam setiap bergulirnya era dan masa. Sejarah Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar di masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat (misalnya; Letkol Suhardiman, Pendiri SOKSI) lantas menghimpun kelas-kelas masyarakat seperti kelompok tani, nelayan buruh ke dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Jika kita menilik ulang apa yang terjadi dalam memori singkat yang beberapa saat lalu melayang ke zaman belakang, maka pendirian Sekber Golkar merupakan antitesis dari hegemoni PKI dan ideologi komunis yang merongrong kehidupan politik Bangsa Indonesia ketika itu. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Dan perlu diketahui, jika pembentukan golongan fungsional ini merupakan apa yang dicitakan Presiden Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin yang didengungkannya sebagai sebuah sistem ideal bagi Republik Indonesia.
Sehingga pembentukan Sekber Golkar tak bisa dilepaskan dari pemikiran Soekarno yang mewakili golongan sipil dan A.H. Nasution yang mewakili golongan militer. Sejak perdebatan bentuk negara setelah proklamasi, Soekarno menghendaki bentuk partai tunggal yang menaungi semua golongan politik di Indonesia. Ia tidak mau republik terkotak-kotak dalam sekat ideologi. Jika ditelusuri maka kita akan menemukan pemikiran Soekarno yang antipati sekali terhadap partai politik.
Sehingga cita-citanya membuat partai tunggal dengan sistem demokrasi terpimpin adalah sebuah keniscayaan. Nasution pun setali tiga uang. Ia juga menghendaki peranan partai ditepikan karena dianggap hanya memecah belah persatuan. Sejak 1950an, Nasition sudah sangat kritis terhadap perilaku partai di parlemen, sebuah pendapat yang diamini oleh kalangan militer.
Orang selama ini memang mengenal Golkar hanya sebatas sebagai "Partainya Orde Baru" dan "Mesin Politik Soeharto". Namun mengabaikan fakta bahwa Golkar muncul melalui proses politik panjang, jauh sebelum Orde Baru berkuasa, dan menutup mata dari ironi bahwa ia lahir justru dari sosok yang selama ini ditentangnya: Soekarno. (David Reeve, Golkar Sejarah Yang Hilang Akar Pemikiran dan Dinamika, 2013).
Hal ini ditengarai memang merupakan sebuah fakta sejarah yang harus dijelaskan kepada publik, apalagi jika kita mengingat bagaimana Presiden Soekarno kala itu seperti tersandera oleh PKI dalam setiap gerak langkahnya, hal ini dapat dilihat ketika pemberontakan PKI yang pertama di Madiun, Soekarno tidak mengambil langkah strategis pembubaran PKI. Justru Soekarno seperti mengubur jejak sejarah tentang hal tersebut, dan apa yang ditakutkan golongan fungsional bahwa PKI kembali merongrong Bangsa Indonesia dengan peristiwa G30S-PKIdi Jakarta.
Pasca kemerdekaan dan pasca Pemilu 1955-1957 Demokrasi Parlementer dianggap sebagai sebuah kegagalan sistem dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, pada level penentuan kebijakan, banyak terjadi jalan buntu sehingga parlemen makin dianggap sebagai biang masalah. Hal ini terjadi akibat tarik menarik kepentingan antar partai di parlemen kala itu. Selain itu, sistem Demokrasi Parlementer dianggap meminggirkan kultur musyawarah dalam pengambilan keputusan di Indonesia.
Soekarno menginginkan sistem Partai Tunggal ditegaskan pada peristiwa pidato tanggal 28 Oktober 1956. Soekarno menyerukan untuk "mengubur partai-partai politik". Puncaknya terjadi pada Februari 1957 ketika ia mengemukakan jalan keluar bagi kemelut politik yang terjadi selama bertahun-tahun.
Pidato ini kelak dikenal sebagai "Konsepsi Presiden 1957" dan dianggap sebagai pintu masuk menuju Demokrasi Terpimpin. Pada pidato inilah Soekarno secara resmi mengumumkan gagasannya tentang golongan fungsional. Setelah pidato itu, konsolidasi politik dilakukan dalam berbagai tingkatan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dalam "Konsepsi Presiden". Soekarno sendiri bahkan sampai turun tangan untuk merayu dan melobby berbagai Underbouw partai politik yang mengurusi kelompok profesi untuk meninggalkan induknya dan bergabung dengan organisasi golongan fungsional.
Sebagian menerima, sebagian menolak. Mereka yang menerima itulah yang kemudian bersepakat mendirikan organisasi konfederasi pada 1964 dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya-Cikal Bakal Partai Golkar hari ini. Persitiwa tersebut menggambarkan tentang bagaimana larva sejarah menelurkan peristiwa-peristiwa yang tersembunyi dan harus disingkap. Keberadaan Golkar hari ini dengan jalan panjang sejarahnya menjadi sebuah metamorfosis dari kepala seorang Soekarno sebagai sebuah cita-cita dan keyakinan meretas jalan Golongan Karya.