Ketika kepergok sang suami yang juga seorang raja, si imraah ubah strategi dari awalnya soal bagaimana supaya terpenuhi hasrat birahinya menjadi sibuk bagaimana cara beralibinya. Untung ada saksi ahli yang punya teori jitu soal "begituan". "lihat baju Yusuf bagian mana yang robek, jika robek bagian depan berarti dia yang salah namun jika bagian belakang yang robek maka si tuan putri yang salah. Ternyata bagian belakang yang robek, maka kata si raja, "hai Yusuf: " berpalinglah dari ini"(rahasiakanlah). Dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang salah" (12:29). Namun demi menjaga martabat keluarga, Yusuf tetap memilih dipenjara, "...penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku..."(12:33).
Kasus mirip-mirip Yusuf bisa saja terjadi di zaman sekarang, dimana relasi-relasi kekuasaan seakan membuka jalan untuk berprinsip segalanya bisa diatur segalanya bisa dilakukan dengan mudah, apalagi kepemilikan uang tak berseri bisa berbuat dan bertindak melampaui batas, "Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat" (42:27). Namun manusia lupa kalau ada yang berkuasa diatasnya sehingga sehebat apapun rencana dan skenario yang dibuat tidak selalu mulus, "apakah manusia menyangka bahwa sekali-kali tiada seorangpun yang berkuasa atasnya? (90:5). "Sepandai-pandai tupai melompat suatu saat akan jatuh juga", demikian pepatah mengatakan.
Namun problem ini seakan menjadi magnet bagi para ahli hukum yang sedang berburu rupiah, sehingga rela saja terkontaminasi karena hitung-hitungan materinya lebih menjanjikan dari sekedar memperjuangkan moral dan keadilan, sehingga atas nama hukum bisa meng otak atik pasal dan fakta menjadi bias dan mengacaukan cara berfikir logis dan kontra dengan nurani pribadi dan publik. Tak peduli hujatan masyarakat karena bagi mereka ini adalah "hajatan", hajatan yang bisa saja berakhir dengan harapan sukses membela klien atau walapun gagal namun jasa profesi tetap harus terpenuhi.
Wal hasil, orang baik pasti balasannya kebaikan meskipun melalui penderitaan, dan orang dzalim pasti menemui apa yang ditanamnya walaupun awalnya berjalan diatas "karpet merah". "balasan kebajikan pasti kebajikan" demikian pesan kitab suci (55:60).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H