Lihat ke Halaman Asli

Elam Sanurihim Ayatuna

Pegawai di Kementerian Keuangan

Memitigasi Ancaman Konflik Laut China Selatan dengan Penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Natuna

Diperbarui: 31 Mei 2024   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://international.sindonews.com/berita/1489726/40/mengenal-nine-dash-line-alasan-china-mengklaim-natuna

Pada 2023, Kementerian Sumber Daya Alam China merilis peta standar edisi terbaru. Dalam peta tersebut, China secara sepihak memperluas klaim wilayah atas wilayah Laut China Selatan (South China Sea) menjadi 90 persen.

Peta terbaru yang dirilis oleh China memiliki perbedaan dengan versi yang mereka serahkan kepada PBB pada tahun 2009 mengenai Laut China Selatan. Awalnya, wilayah tersebut dibatasi oleh 9 garis putus-putus (nine-dash line), namun sekarang luasannya diperluas menjadi 10 garis putus-putus (ten-dash line).

Ten-dash line ini membentuk lingkaran sepanjang 1.500 kilometer di sebelah selatan Pulau Hainan dan memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia, yang berdekatan dengan Sabah dan Sarawak, kemudian melewati Brunei, Filipina, Vietnam, dan mencapai perairan Indonesia.

Peta yang dikeluarkan oleh China tersebut telah menimbulkan tanggapan negatif dari sejumlah negara pemilik wilayah di Laut China Selatan (LCS) seperti Brunei, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Taiwan karena dianggap melanggar batas kedaulatan mereka.

Pemerintah Indonesia turut mempertanyakan peta baru China tersebut, karena mendekati perairan Indonesia dan tidak sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982.

Namun China merasa klaim wilayah merupakan hal yang sah. Hal ini didasarkan pada argumen sejarah dan tradisi, serta pada garis batas yang mereka tetapkan pada 1947 yang menetapkan wilayah yang diklaim oleh China di LCS.

Jauh sebelum klaim ten-dash line, penerapan nine-dash line oleh China juga telah menimbulkan konflik panjang sebelumnya. Konflik bermula dari klaim China atas pulau-pulau di wilayah LCS, yang didasarkan pada berbagai bukti sejarah seperti penemuan situs-situs arkeologi, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, serta aktivitas ekonomi, terutama kegiatan penangkapan ikan oleh para nelayan tradisional China di kawasan LCS.

Hanya saja beberapa negara lain memiliki klaim yang berbeda terhadap wilayah LCS yang sama. Saling klaim berbagai negara ini menyebabkan konflik yang berkelanjutan untuk mempertahankan klaim wilayah kedaulatan masing-masing.

Selain masalah kedaulatan masing-masing negara, konflik kawasan Laut China Selatan juga tidak lepas dari kekayaan ekonominya. Di kawasan LCS, terutama di antara gugusan pulau dan terumbu karang, terdapat kandungan cadangan minyak dan gas alam yang signifikan. Salah satunya di Pulau Spratly yang diperkirakan memiliki kandungan minyak hingga 17,7 miliar ton.

Wilayah LCS juga memiliki strategisnya sendiri sebagai jalur transportasi pelayaran internasional (maritime superhighway) yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Lebih dari setengah lalu lintas kapal tangker dunia, khususnya angkutan minyak dan gas bumi melintasi kawasan ini. Akibatnya, jalur ini menjadi fokus utama bagi negara-negara di kawasan LCS dan penggunaannya, terutama negara yang ingin memastikan pasokan energinya tidak terhambat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline