Lihat ke Halaman Asli

Elam Sanurihim Ayatuna

Pegawai di Kementerian Keuangan

Kampanye Setop Bayar Pajak Akan Menyengsarakan Rakyat

Diperbarui: 7 Maret 2023   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sebagai pembayar pajak, rakyat boleh saja marah dan kesal pada hidup glamor salah satu mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Terlepas dari pemeriksaan yang tengah dilakukan atas asal-usul hartanya, rakyat berhak kecewa jika melihat atau menemukan ada aparatur negara yang dirasa "kurang pas" dalam berperilaku dan bertindak.

Sebagai bentuk kekecewaan, rakyat juga berhak menyampaikan berbagai pendapat, saran, dan kritik pada pemerintah, khususnya DJP.

Kritikan pada DJP sebagai institusi pemerintah juga merupakan proses yang seharusnya ada dalam negara demokrasi. Segala kritikan yang baik, konstruktif, dan patut adalah hal justru dibutuhkan DJP dalam membangun lagi kepercayaan publik yang tengah turun.

Namun sayangnya, ada beberapa kritikan yang justru kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa. Salah satunya berupa kampanye boikot pajak.

Beberapa orang bahkan tokoh terkemuka dengan terang-terangan mengajak masyarakat untuk tidak membayar atau melaporkan pajaknya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan kekecewaan.

Selain kekecewaan, boikot pajak juga disebabkan anggapan yang salah kaprah. Terdapat kekhawatiran uang pajak yang dibayarkan justru masuk ke kantong petugas pajak.

Padahal sebagaimana diketahui secara luas, pembayaran pajak selalu dilakukan melalui bank persepsi atau kantor pos yang langsung disetorkan ke kas negara. Pembayaran tidak dilakukan melalui kantor pajak apalagi petugas DJP.

Oleh karenanya, jika seseorang telah menyetorkan pajak dengan semestinya, maka dana tersebut dijamin aman terdapat di kas negara.

Bahaya Kampanye Boikot Pajak

Selain itu, kampanye boikot tersebut jelas sangat berbahaya. Memboikot pembayaran pajak sama saja dengan menghentikan sumber pemasukan kas negara. Padahal kas tersebut yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pembangunan, pelayanan publik, subsidi, bantuan sosial, dan sebagainya.

Pajak berkontribusi sekitar 80 persen dari penerimaan negara. Maka, kampanye tersebut berpotensi mengganggu sebagian besar anggaran pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline