Lihat ke Halaman Asli

Aku Bangsat!

Diperbarui: 23 Mei 2016   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tergeletak dengan rasa penyesalan yang tak karuan Aru masih menahan nafas, yang seakan haru dan mencari-cari dengan sesuatu yang memang telah lama belum ia dapatkan, yaitu manusia tanpa eksistensi media, namun eksistensinya kepada masyarakat sangat di cium ingatan itu “bangsat !”Ucapnya menyesali kepada diri sendiri, berusaha menggenggam pensil dan terdiam lama didepan drawing book, tangan Aru tak bergerak, kaku seakan tak ada wajah yang berusaha di ingatnya, pernah ketika sepulang ke desa Sebabi, kampong halamannya Aru men-cari poto-poto sosok itu namun tak ada hasil “ahh... aku tepedaya oleh tangis dan tawa, Ayah, izinkanlah sekali saja aku melihat wajahmu lagi!”gumamnya dengan mata yang agak basah Aru seakan terbawa tangan, wajar saja sebelum tahun 2003, di Kalimantan Tengah sangat jarang ditemukan HP seperti sekarang, atau setidaknya kamera hitam-putih untuk membungkus wajahnya, apalagi dipelosok desa “aku masih tak dapat melihat wajahnya, kupejam beribu-ribu kali masih tak dapat karena ia pergi ketika aku berumur 7 tahun”. 

Sembari menyesali nasibnya, kemudian ia berucap lagi “Hei lelaki yang telah pergi ! aku merindukan kebijakanmu dalam bertutur dan bertindak”Aru semakin larut dengan kesendiriannya, walau semakin dingin segelas kopi tak pula ia minum “kau tak banyak bicara, namun hanya tulisan-tulisanmu yang masih dapat ku baca kenapa kau tak meninggalkan sesuatu yang dapat ku ingat, aku ingin sesekali membuat jandamu itu tersenyum dengan hasil tanganku sendiri”semakin erat Aru menggenggam pensil lalu mencoret-coret drawing book didepannya persis seperti dirasuki Jin “katanya aku mahir melukis, menggambar dan sebagainya, ah... aku hanyalah bangsat yang masih mencari wajahmu ! kutampar wajahku dengan apapun , kau tetap tak akan hadir”.

Mata Aru mulai berkaca-kaca, ia kemudian berdiri dan memukulkan kepalanya ketembok dekat pintu kamarnya “hei lelaki yang telah lama pergi ! meninggalkan kekosongan pada rumah yang kau bangun bersama janda itu, aku kadang tak mampu menahan asa, kulihat janda itu setiap malam membohongiku dengan lagak bahagia, kulihat linangan air matanya saat membacakan surah An-Nisa dengan nada khas sebagai pengantar tidurku, kadang aku meronta akan ketidak adilan Tuhan. aku bangsat ! membiarkan janda itu pergi sana-sini, tak mampu menahan kucilan penduduk desa yang tak berhati, seperti anjing ! selalu mencari-cari kisah tentangnya” semakin menggila, ia mulai terdiam sejenak dan memandang poto seorang wanita tua yang ia ambil dari dompetnya “aku kadang berdo’a dengan apa saja, kadang aku menulis nama Allah, lalu kusembah tulisan itu berharap itu benar Tuhan yang dapat mengabulkan do’a-do’aku, supaya siapa yang menyakitinya tumbang satu persatu, alhasil bukan karena nama Allah yang kutulis, tapi karena kesabaran janda itu,  semua yang menghina satu persatu mati lebih dahulu”.

Aru tertawa dengan air mata yang masih mengalir, ia teringat betapa janda itu sangat tidak dihargai “hei lelaki yang telah pergi ! kenapa anak-anakmu penuh dengan pertikaian, dihujah sini dan sana, adakah dosamu dimasa lalu, aku tak tahan jika mengingat betapa bijaknya dirimu dahulu, jika melihat anak-anakmu sekarang. oh janda yang malang ! aku hendak bergegas dari keterpurukan, aku ingin melihat senyummu, carilah pendamping baru !”Terlihat jelas betapa beratnya Aru mengatakan kalimat “carilah pendamping baru” namun ia rela asal janda yang ia maksudkan dapat mengambil sisa ke-bahagiannya “Aku merindukanmu wahai lelaki yang bijak, kenapa tak ada sesuatu yang dapat menggambarkan wajahmu, aku bangsat kalau harus seperti ini”Terdiam dalam keheningan, terdengar jelas suara instrument Richard Clayderman musik kesukaannya, yang berjudul  Mariagge Da Amoure “banyak orang-orang bahkan kawan sendiri yang melihat senyumku dengan dengki, mereka takut dengan kebahagiaanku. oh lelaki tak berparas ! aku harus bagaimana tatkala gundah terus dihujah?”

Ia terkenang pula kepada sahabat-sahabat yang diam-diam mengucilinya, mencaci, memaki bahkan dijauhi karena Aru memang terlihat arogan, padahal betapa batinnya menderita “apakah penting untuk kujelaskan betapa aku kosong, tak seperti yang mereka pikirkan apalagi selain dengan menulis aku mampu menghadirkanmu, mengingat dan melihat wajahmu aku tak bisa selain menulis dan berdo’a”Semakin lemah, Aru mulai duduk diam, menangis, senyum, entahlah wajah apa yang ia pasang, namun terlihat jelas Aru sangat kosong, menjamah Negri Maya berharap ia dapat melihat poto alm. Ayahnya atau setidaknya ingatan tentang sang ayah dapat ia lukis pada malam itu “kali ini aku terjebak oleh kata dan air mata, dihujah sini dan sana berharap Tuhan mengampuni aku jika memang salahku, dan mengampuni mereka jika mereka bersalah. hei lelaki yang telah lama pergi ! aku sangat merindukan tamparan, cubitan, dan pukulanmu, tatkala aku nakal dan melalaikan sholat. Kini apa yang kuharapkan untuk menegur dan menampar diriku selain meminta supaya dikritik, dibenarkan jika memang salah”.

Setelah lama ia termenung, tiba-tiba berdiri dan menuju dapur untuk mengambil sebuah pisau ia berucap “oh janda yang sepi ! tunggulah aku sepulang dari Jogja ini, aku ingin sekali melihat senyummu tanpa dusta, tawamu lepas tanpa iba, kadang aku bersembunyi dibalik tawa wahai jandaku, melihat perpisahan kalian berdua yang menyayat anak-anakmu”kemudian si Aru menuju kran air membawa pisau tersebut, ia membuka kran air dengan pisau karena kran air itu memang agak rusak. Tak lama setelah air mengalir Aru mengambil air wudhu, kemudian sholat tahajud. Dengan ia berdo’a sangat singkat “Untukmu ayah dan ibu, aku Bangsat !”..

ssumber gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline