Lihat ke Halaman Asli

# 1 Tragedi Patah Tulang : Sore Itu...

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasanya, di sore hari saya dan teman-teman kampung bermain. Waktu itu sekitar jam 15.00, selepas shalat Asar, saya berganti baju. Ya, baju seragam bermain khas anak kampung. Celana pendek warna abu-abu dan baju coklat yang ukurannya besar, karena baju itu turunan dari kakak saya. Hehe…Saya dan teman-teman mau bermain kelereng. Kita kumpul di 'tanean lanjeng' alias halaman yang panjang dekat rumah. Di kampung saya dikenal dengan sebutan 'tanean lanjeng', karena tiap rumah mempunyai halaman yang luas. Dan posisi rumah berjajar memanjang ke samping. Sehingga tiap ujung halaman satu dengan lainnya bersambung dan memanjang.

Ketika teman-teman sudah berkumpul, sebelum menuju ke tempat permainan kelereng, kita berbincang-bincang sejenak di depan halaman rumah salah satu tetangga. Ada sebuah sepeda kuno alias sepeda onthel yang lagi parkir di dekat situ. Kok tiba-tiba saya ingin sekali menaiki sepeda itu. Lalu saya mulai mendekatinya. Saya pegang dia. Saya coba gerak-gerakkan. Waw! Berat sekali. Maklum sepeda kuno. Warnanya silver. Bodinya masih orisinil semua kecuali catnya. Posisinya mengarah ke halaman yang lebih tinggi dari posisi sepeda. Ada tenjakan kecil sekitar dua puluh centimeter lebarnya. Tanjakan ini sebagai penghubung antar halaman. Tidak sabar rasanya hati saya untuk mencoba menaiki sepeda kuno ini. Saya ambil sepeda itu, lalu saya ayunkan untuk menelusuri halaman kampung. Belum lama saya berada di atas sepeda, persis berada di atas tanjakan itu, tiba-tiba...

Brakk...!

Saya terjatuh. Posisi sepeda di atas badan. Posisi badan saya tengkurap dengan tangan kiri tertindih badan dan sepeda. Saya spontan duduk. Sekilas saya tidak mengalami apa-apa dan tidak merasakan apapun. Namun, ada keanehan pada salah satu anggota tubuh saya ketika saya mencoba bangun. Saya periksa dengan seksama. Ketika saya melihat lengan kiri saya, terlihat beda. "Kok membesar?" pikir saya. Masyaallah...Allahu Akbar! Hanya itu yang bisa terucap. Mata saya tak berkedip sedetikpun dari tangan saya. Baru saya sadar kalau mengalami patah tulang. Patahnya persis di persendian siku tangan kiri. Rasa nyeri dan sakit belum saya rasakan. Karena pikiran ini tertuju kepada tanganku yang merana. Sayapun memberanikan berdiri untuk pulang memberitahukan apa yang saya alami. Anehnya, teman-temanku hanya terbengong melihat kejadian ini. Tak satupun beranjak dari tempat semula.

Sesampai di rumah, sayapun memanggil-manggil ayah dan ibu. "Rama..rama..ibu..ibu..saya patah tulang" ucap saya berkali-kali sambil membuka pintu. Saya melihat ayah sedang sholat. Tiba-tiba ayah membatalkan sholatnya tatkala mendengar jeritan saya tadi. Begitupun ibu, yang saat itu ada di kamar mandi. Ibu menjerit mendengar panggilanku. Mereka berdua langsung mendekap saya sambil terisak-isak menangis. Mereka tidak tega melihat kondisi tangan saya yang gontai. Apalagi wajah saya yang pucat dan tegang. Sayapun mulai tidak tahan menahan sakit, tambah lama, tambah terasa. "Gimana toh nak kok bisa begini..." seru ibu sambil mengusap air matanya yang tidak mampu dibendung.

Kakak ipar saya yang ketika itu menerima tamu, juga menghampiri saya. Dengan cekatan, dia menyuruh ibu untuk menidurkan saya di ranjang. Kemudian dia memegang tangan saya yang gontai untuk diluruskan. "Tahan ya..." ucapnya seraya menarik tangan saya. "Krek..". "Auuu...!!" jeritku. Setelah itu kakak saya bergegas memanggil tukat pijat ahli patah tulang. Sanak famili dan tetangga mulai berdatangan. Mereka tahu dari mulut ke mulut. Ibu saya tidak henti-hentinya menangis sambil menemani saya.

Setengah jam kemudian, kakak saya datang bersama tukang pijat. Namanya pak Abdulloh. Dia dikenal di daerahnya sebagai ahli patah tulang. Mulailah tangan saya "diservice". Dipijat pelan-pelan. Sesekali menarik lengan saya untuk menempatkan ke posisi semula. Sakit...? Ah! Jangan tanya itu. Siapapun akan tahu rasanya. Setelah beberapa menit, pak Abdulloh mengikat tangan saya dengan kulit kayu agar posisinya tidak berubah. Terutama ketika tidur. Dan selesailah "service" itu. (bersambung)

(Beraji, 1993)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline