Lihat ke Halaman Asli

(Bulan Motivasi RTC) Cinta yang Hilang

Diperbarui: 24 Mei 2016   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tim : sweety 

Cikarang Bekasi, ada magnet besar tertancap di sana, meski sakit tak terkira rela terus bertahan tanpa jera. Merendahkan diri, menengadahkan tangan hanya untuk sekelumit pekerjaan.
 Rela di permainkan para manusia yang seolah-olah baik dan bersahaja. Menundukkan muka setunduk-tunduknya sampai bahu tak mampu lagi kubusungkan dengan wibawa.
 “Rendah jadi pesuruh, masih kuberkata, siap!” Bisik hatiku dengan nanar mata lalui panasnya jalan raya.

 Karena ingat, aku bukan lagi seperti beberapa waktu yang lalu, dengan seragam kebanggaan bersama langkah merdeka.
 Di sini juga bukanlah datang sebagai pengunjung pariwisata, yang datang hanya untuk melakukan pengamatan atau beranjangsana, jika bukan karena dia, tak akan kulangkahkan kaki nekat berbekal ala kadarnya.
 Benar apa kata dia, memang aku terlalu nekat dalam melangkah, mentalku terlalu lemah, manja dan serba ketergantungan dengan orang lain, menjadi salah satu alasan kuat ia sangsikan.


 “Aku tak yakin kau mampu, hari pertama saja telah kudapati wajah bimbangmu" Katanya padaku.
 "Lalu, selepas kau temui aku, langkah mana lagi yang akan kau tuju?! ” Dia membentakku.
 Aku tersentak, mata ini memberat seperti menahan beban bertonton. Air mata yang telah lama tersimpan mulai saling berdesakan berburu ingin segera keluar. Takutku semakin menjadi, dada juga terasa sakit dan nyeri. Ingin berteriak sekeras-kerasnya agar raga ini semakin ringan rasa.
 .
 Kita berdua di ruang itu, ruang tamu yang hanya sejengkal kuku, sempit hanya muat diisi kursi dan televisi. Kakaknya, yang dari jum'at lalu datang berkunjung sengaja pamit undur permisi, ungkapnya akan mancing di danau dekat perum sambil membawa rangsel isi ragam keperluanya nanti.
 Pelan kutundukkan kepala, bungkam mulut dengan dua tangan kuat-kuat, berharap agar suara tangisanku tak terdengar keras. Kutahan suara. Tapi, akhirnya terpecah juga seketika. lama, sangat lama, dari luruh luka kutuangkan dalam satu masa. 

Tak kuberikan alasan apapun kepadanya.
 . Hingga akhirnya air mataku kian membanjir, menganak sungai di pipiku. Tiada sedikitpun alasan yang mampu aku tuang, sebab hati dan perasaanku kini remuk ternyata sosok yang selama ini aku khayalkan dan rindukan layaknya monster yang siap melahapku. habis sudah kata-kata yang telah aku siapkan sedari rumah. Hanya air mata yang mampu menjelaskan semua perih luka hatiku, aku berlari keluar ruang sempit itu mencoba menjauh dari sosok yang dulu menjadi peneguh hatiku. Hingga aku berani menjejakkan langkah di kota Cikarang Bekasi bersama harapan untuk bisa hidup bersamanya.

Semua akan berlalu. Kesedihan, kebahagian akan tergerus oleh sang waktu. Untuk apa kita menggenggam hal yang menyakitkan. Hanya untuk menumpahkan air mata kesedihan. Jika kita masih punya pilihan air mata yang keluar adalah sebagai tangis kebahagian.
 Untuk apa menggenggam terus kepedihan. Jika hanya untuk diratapi dan dikeluhkan. 


 “Aku harus mampu,” aku berkata pada cermin dihadapanku. Ya, satu sosok terpampang jelas di sana. Semua adalah pilihan. Kepedihan yang menerpaku tidak untuk menggerusku menjadi sesuatu yang akan menghancurkan. Monster yang kerap menjegal jalan kebahagianku adalah kepedihan yang kerap aku genggam. Monster itu adalah diriku sendiri.
 “Aku harus kuat,” kataku lagi. Tak akan ku biarkan monster itu menguasai ruang bahagia aku.

Secepat kilat aku menghapus air mata yang kian membanjir. Aku berusaha untuk tetap tegak berdiri walau aku tahu kaki ini tak lagi mampu untuk berdiri. Janji yang selama ini menjadi peneguh cinta kami telah goyang sebab sosok yang membuatku berdiri di kota ini kini telah berubah, entah setan apa yang telah menghasutnya sehingga perlakuanya padaku tiba-tiba kasar berbeda dengan dia yang dulu. Banyak hal berkecamuk dalam pikiranku. Penyesalan pun kini menggelayut seolah awan hitam. Setelah kejadian itu aku tak ingin lagi jumpa denganya, aku juga kini tak mampu menjelaskan kepada orang tuaku di kampung halaman perihal sosok yang telah membuatku seperti ini.

Dari keluarga yang kutinggalkan, karirku yang hancur mumur, hingga cintanya juga tak lagi bisa ia jelaskan, hanya segumpal kalimat ‘kita bukan jodoh’ menjadi akhir pertemuan

Entah kemana saja hatiku, ketika diri tunduk bersimpuh dengan bibir nyinyir berdzikir, Tak bergunakah sepertiga malam yang kulalui bersama sujud dan kepasrahanku. Sampai - sampai tak sadar bisa sejauh ini melangkah, mungkin Alloh benar - benar tengah murka.

Hela nafas, kuserahkan kembali pada–Nya.Tak peduli lagi musibah ini balasan atau ujian yang tengah kutimpa, nasi sudah menjadi bubur, biarlah dari segala yang terjadi semoga aku bisa menjadi manusia yang lebih baik dan beralur dalam langkah yang baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline