Lihat ke Halaman Asli

Kuliah Diajarin Ngamen Ya??

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika akhir pekan tiba, jalanan persimpangan Jl. Ir. H. Juanda (Dago) – Jl. Cikapayang, Bandung, dipadati sekelompok anak-anak muda. Disertai genjrengan gitar dan tepukan tangan, lagu “seribu aja, seribu aja” itu berhasil membuat kaca demi kaca pintu mobil terbuka dan uluran tangan mencemplungkan lembaran uang ke dalam kotak kardus yang dibawa oleh kelompok remaja tersebut. Pemandangan seperti ini sebenarnya sudah tak asing lagi, bukan hanya di jalanan Dago, tapi di jalanan padat kendaraan kota Bandung, fenomena yang sama sudah menjadi sajian umum. Kelompok remaja ini biasanya adalah mahasiswa yang sedang menggalang dana untuk membiayai berbagai kebutuhan, mulai dari kegiatan dalam kampus sampai dana sosial.

Jogetan yang jenaka, lagu-lagu yang dibawakan, dan kekompakkan mereka kerap kali menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengguna jalan. Tak ayal lagi, mereka berhasil meraup keuntungan dalam jumlah yang mencengangkan hanya dalam waktu empat jam. Kisaran pendapatan yang diperoleh bisa menembus angkatujuh ratus ribu rupiah dalam kurun waktu empat jam saja seperti yang di muat dalam Detik Bandung tahun lalu. Jumlah yang tak sedikit ini sudah pasti akan semakin membuat air liur mahasiswa pencari dana mengalir deras. Bayangkan saja, dengan modal gitar dan kotak kardus bertuliskan “Baksos” atau “Penggalangan Dana Untuk Korban Bencana”, uang dalam jumlah besar mudah sekali diraup dalam waktu singkat.

Beberapa artikel serupa telah mengangkat fenomena ini ke permukaan. Dalam Kompasiana.com juga diangkat topik tentang mahasiswa universitas ternama di Lampung yang mengamen di jalanan karena sedang di ospek. Lain lagi di Bandung, mahasiswa berduyun-duyun turun ke jalanan untuk mengamen dengan tujuan penggalangan dana untuk bakti sosial dan kegiatan dalam kampus. Tidak hanya di dua kota ini, fenomena yang sama juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia. Pengangkatan fenomena luar biasa ini tampaknya tidak mampu mendobrak wajah tebal para mahasiswa pengamen dan juga sistem pendidikan Indonesia. Hal ini terbukti dari semakin maraknya aksi serupa di jalanan. Prilaku seperti ini tampak telah mendarah daging dalam budaya kehidupan mahasiswa Indonesia sehingga batasan antara baik dan buruk bak membran permeable yang mampu mencampur aduk keduanya dan lambat laun menjadi sebuah kebiasaan. Akibatnya, perulangan dari peristiwa serupa tak lagi menjadi sebuah masalah serius yang harus segera diberi penanganan.

Sebagai bangsa yang masih berada dalam proses berkembang, fenomena ini seharusnya menjadi pukulan hebat bagi Indonesia baik masyarakat maupun pemerintah. Sikap para penuntut ilmu semakin hari justru semakin mencoreng wajah para pahlawan yang telah membebaskan Indonesia dari penderitaan selama berabad-abad. Fungsi pendidikan yang diharapkan jadi sarana untuk membuat mereka tumbuh menjadi manusia pembelajar yang mampu mengantongi kemampuan intelektual yang tinggi, attitude yang mulia, dan kepekaan sosial yang tajam, perlu dikaji ulang.

Para pelaku didik yang sumringah turun ke jalan untuk meminta-minta uang dengan mengamen ini dapat dijadikan bukti nyata bahwa kreativitas mahasiswa sedang jalan di tempat atau bahkan berjalan mundur. Bagaimana tidak, penyandang kata bermakna dahsyat Maha dan Siswayang seharusnya mampu menjadi panutan bagi seluruh insan di negara Pancasila, justru menderek moral bangsa menjadi kian terpuruk. Apapun latar belakang yang mendasari tindakan ini, sangat tidak dapat dimaklumi jika insan-insan yang menganut tridarma perguruan tinggi Indonesia tersebut justru menginjak-injak ideologi yang menafasi perguruan tinggi tempat mereka dimuliakan.

Berpredikat sebagai insan pembelajar yang sudah melewati tahapan-tahapan seleksi akademis dan pendewasaan diri melalui isu-isu sosial selayaknya dapat menjadikan mahasiswa menjadi lebih peka terhadap penilaian baik dan buruk. Mawas diri sangat dibutuhkan untuk mengetahui fungsi dan peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air satu Indonesia. Pemikiran yang kritis dan murni seharusnya mampu meletakkan mahasiswa dalam hirarki perintis kemajuan bangsa dan tidak sebaliknya. Tindakan yang berbanding terbalik dengan tujuan pendidikan ini justru menempatkan mahasiswa dalam hirarki yang sama dengan mereka yang tidak berpendidikan.

Masa depan Indonesia pantas diragukan jika para pelaku didiknya tidak menegtahui peran pentingnya dalam menapak tilas sejarah dan bersiap untuk melesatkan tembakan jitu ke arah masa depan yang cerah. Impian indah para pahlawan Indonesia akan terus menjadi angan jika pencorengan wajah Indonesia seperti ini terus dilakukan dan dianggap sebagai cara yang wajar. Jika hal ini terus menerus dibiarkan maka tak ayal lagi, semua visi dan misi pendidikan Indonesia hanya akan menjadi tarian pena di atas kertas dan sebatas jadi bahasa mata. Sudah saatnya kerja sama berbagai pihak dilakukan untuk memotong siklus kemunduran pendidikan di Indonesia. Bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah tapi juga menjadi tanggung jawab setiap orang tua dan seluruh elemen masyarakat untuk berkomitmen memajukan pendidikan bangsa dan mengingatkan insan didik untuk tidak serta merta menggali kejayaan dengan cara tak pantas tetapi pendewasaan diri dan pencerdasan pikiran jauh lebih terhormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline