Lihat ke Halaman Asli

hida

writer

(ECR #5) Gelembung Rindu di Rumah Cinta Sederhana

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pagi terasa dingin di Desa Rangkat. Aku sedang menulis puisi di kursi depan rumah. Ayah dan Bundaku sedang asyik duduk berdua di ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan, namun yang pasti mereka tengah menandaskan kerinduan yang telah lama mengisi gelas-gelas hidup mereka. Kak Ranti dan adikku sedang berlari pagi mengitari Desa. Biasanya kami bertiga selalu berlari bersama, namun karena fisikku sedang kurang fit maka aku lebih memilih diam di rumah.

“Kekasih, aku tengah menanti hujan untuk kemarau yang lama bermukim di jantungku. Segeralah peluk batinku dan kita satukan mimpi yang selangkah lagi menjadi nyata.” Bait pertama puisi yang aku tulis.

Hanya suara burung gereja yang bersahutan di atas dahan dan sebagian mandi tanah di depan rumah. Sesekali terdengar tawa dari Ayah dan Bundaku dari ruang tamu. Aku merasakan ini begitu ritmis seperti orchestra lagu instrumental. Tak ada musik yang aku putarkan di laptop, hanya ada screen saver gelembung yang muncul saat aku berhenti lama menekan keyboard.

“Kekasih, selalu ada yang membuatku bangga mencintamu. Engkau yang selalu menjaga kemuliaan warna malam milikku, dan fajar putih yang sirna sebelum datang waktuku. Engkau tak memerdulikannya. Hanya ada aku yang tak bisa melakukan yang sepertimu. Hanya ada kasih untukmu kekasih yang tak akan berkarat meski direndam amarah dan kebencian dingin jenari.” Bait kedua.

Ah aku jadi teringat saat tadi malam aku berbicara lewat telepon dengan Zaa. Dia bilang dia akan datang ke Desa untuk bertemu Ayah dan Bundaku. Tak terbayang olehku kebahagiaan hati Ayah dan Bundaku saat Zaa datang ke rumah, duduk di kursi ini, menikmati sejuk pagi di sini dan menjadi penghuni tetap rumah cinta sederhanaku ini. Aku yakin warna baru akan ada seiring tuturnya yang indah. Pelangi cinta akan menjadi pemandangan indah di rumah rindu sederhanaku ini.

“Kekasih, selalu ada yang membuatku semakin mencintamu. Engkau tak pernah sedikitpun menggoreskan tinta merah dalam lembar cintaku, dan aku yang selalu mendarahkan airmata dalam hujan yang tak henti mengguyur kalbumu. Aku yang kini hidup dalam keterbatasan jarak dengan lisan yang selalu tak bisa membuatmu terjaga. Hanya ada kasih untukmu kekasih yang tak hilang meski duka selalu datang.” Bait ketiga.

“El!! Kesini sebentar...” Aku dengar Bundaku memanggil. Maka tak ada alasan untuk menjawab dengan teriak, aku memilih untuk tidak menjawab namun aku langsung menghadapnya.

“Ada apa bunda...” Dengan senyum paling tulus.

“Lagi apa kamu Nak.” Bunda dengan nada yang tidak ada sedikitpun bernada tinggi.

“Aku lagi menulis Bunda. Bunda ada perlu apa. Mau dibuatin teh?” Tanyaku dengan siap siaga apapun yang akan diperintahnya.

“Ah enggak, ini  teh hijau udah ada di gelas. Ya sudah kamu lanjutin nulis aja lagi.” Bunda senyum. Ayahku terlihat sedang menahan tawa sembari memegang remote lalu menyeruput teh dalam gelas.

“Udah segitu aja Bunda?” Tanyaku Polos.

“Iya, tadi kan Bunda bilang juga sebentar.” Ya Tuhan, aku lupa. Ini adalah candaan Bunda untuk mengerjaiku. Padahal ini biasa dilakukannya, tapi aku lupa. Aku lalu keluar meninggalkan Ayah dan Bundaku yang sedang terkekeh menertawakanku. Aku kembali duduk di kursi kayu berukir yang Bunda beli dari tukang jualan yang lewat, saat Ayah belum datang ke Desa. Dan aku lihat gelembung di laptopku. Warna-warni dan memantul seperti kehidupan.

“Kekasih, Selalu ada yang membuatku bertahan menncintamu. Adalah kerinduan akan tatapan demi tatapan yang menghanyutkan hati. Dan engkau yang menjadi kekuatan untuk aku yang tak bisa mencari selainmu untuk menyandarkan mimpi. Kini, dalam tarian rindu yang meliuk seperti awan pagi, aku merindumu. Hanya ada kasih untukmu kekasih yang tak mengenal tamat hingga akhirat.” Bait keempat.

Aku menikmati pagi dengan penuh kehangatan seiring matahari yang bersinar dari balik pepohonan. Aku tersenyum sendiri membiarkan pikiranku melayang kemanapun sesukanya. Dan bayangan Zaa-lah yang bertahta dalam pikirku untuk waktu sekarang ini. Aku sudah tidak sabar menanti kehadiran calon isteriku ini berada di sini, menjadi penghuni tetap rumah cinta sederhanaku ini. Tak terbayangkan olehku betapa bahagianya aku andai ada Zaa di sini sekarang menemaniku menulis puisi, meminum teh hijau kesukaan dan bercanda dengan Ayah dan Bunda. Ah, benar apa yang dikatakan orang, sesuatu yang berat menimpa tidak akan ada terasa jika ditemani orang-orang tercinta.

Kak Ranti dan Jizan belum pulang. Aku lihat jam di pojok bawah bagian kanan laptopku menunjukkan jam sepuluh pagi. Aku pikir ini sudah cukup siang. Bunda mengingatkanku untuk sholat Dhuha bersama Ayah dan Bunda.

Aku lalu menutup laptopku setelah menyimpan puisiku pada folder tempat biasa aku simpan puisiku. Aku membawa masuk laptopku dan menyimpannya ke kamar meninggalkan gelas dan sebuah buku “Novel Al Maya” di atas meja. Tiba-tiba Bunda memanggilk.

“El, kesini cepat!!” Aku pikir paling Bunda mengerjaiku lagi seperti tadi. Aku memilih untuk menjawab dulu karena aku sedang membereskan buku-buku yang bergeletakkan di meja dalam kamarku. Laptop aku simpan di atas tempat tidur.

“Iya, sebentar Bunda, aku membereskan buku-buku dulu!” Kali ini aku terpaksa menjawab dengan teriak karena aku memang berpikir Bunda pasti mengerjaiku lagi, jadi lebih baik aku bereskan dulu buku-buku.

“Buruan El, ini ada yang datang mencari kamu!!” Bunda teriak lagi.

“Siapa Bunda?” Aku pikir kali ini pasti Bunda serius. Tapi siapa yang datang aku tidak tahu. Tidak seorangpun yang menjajnikan kepadaku untuk datang ke rumah. Aku pikir pasti Kang Inin mau menjengukku, tapi bukankah biasanya dia memberi kabar dahulu walaupun hanya melalui Whatsapp. Mungkin Aa Hans, atau mungkin juga Pak Rt. Tapi sebaiknya memang aku segera menemuinya.

Aku keluar dari kamar dengan setengah berlari menuju depan rumah tempat tadi aku duduk menulis puisi. Dan aku sungguh kaget karena aku melihat seorang perempuan dengan jilbab yang panjang yang diselaraskan dengan baju gamis yang modis berwarna ungu. Dan aku kenal betul senyuman yang menyejukkan dan tatapan matanya yang meneduhkan itu. Ya, aku kenal itu bahkan sangat kenal. Aku tersentak dan sangat kaget.

“Zaa?!”

Elhida

26-271012

*Selamat datang di Desa Rangkat Oi... :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline