Pada tanggal 18-21 Desember lalu, saya pergi ke Bandung mengunjungi beberapa teman yang tinggal di sana. Saya berangkat dari stasiun Gambir pukul 10.35 dengan menaiki kereta Argo Parahyangan dengan tujuan akhir Stasiun Bandung. Di dalam gerbong kereta saya melihat segerombolan anak muda yang mengobrol dengan ceria, nampak sekali mereka menuju bandung untuk liburan bersama, sementara Saya berangkat seorang diri tanpa seorang teman pun yang menemani. Akhirnya, saya menghabiskan waktu dengan membaca novel online melalui smartphone mini saya, karena tidak ada seorangpun yang bisa saya ajak mengobrol di kereta.
Sebelumnya saya sudah sering naik kereta jika hendak pulang ke kampung halaman di Cirebon. Dan biasanya yang saya saksinya dari balik jendela kereta adalah pemandangan persawahan yang menghijau, atau menguning, tergantung apakah saat itu musim tanam atau musim panen. Namun pemandangan yang sungguh jauh berbeda menyambut saya ketika kereta yang saya tumpangi mulai memasuki daerah Bandung. Bukan hamparan persawahan, namun pegunungan, lereng dan bukit yang menghijau indah dan sedap dipandang mata.
Saya seperti memasuki dunia dongeng ketika menyadari bahwa jalur kereta melewati lereng dan pegunungan, bahkan dari balik jendela kereta saya bisa melihat moncong kepala kereta ketika kereta melewati jalur yang melingkar, belum pernah sebelumnya saya menyaksikan kepala kereta ketika saya berada di dalamnya. Mungkin ini hal kecil, namun bagi saya itu sangat menyenangkan. Saya jadi ingat berbagai film dimana ada scene yang menampilkan kereta melewati jalur pegunungan. Sungguh indah.
Setelah setiap hari disuguhi pemandangan kemacetan Jakarta, gedung-gedung yang menjulang tinggi, dan kelamnya langit Jakarta akibat polusi. Tentunya deretan terasering, hijaunya bukit dan pegunungan, serta hutan-hutan yang dilewati kereta menjadi hal baru yang menyegarkan mata. Tak henti-hentinya saya memotret untuk menangkap keindahan tersebut. Meski tentu saja, sebuah kamera dari smartphone kecil takkan mampu menangkap keindahan lukisan ciptaan Tuhan melalui alam Bandung.
Ini adalah pengalaman baru untuk saya, karena terakhir kali ke Bandung naik kereta adalah malam hari, sehingga saya tak bisa menangkap pemandangan indah yang tersaji sepanjang perjalanan. Saya sampai di Bandung di jemput oleh kakak saya dari Desa Rangkat yang saya panggil Teh Lia yang didampingin oleh Kang Inin Nastain, Kades Rangkat yang baru. Dari stasiun saya digiring untuk makan siang di rumah makan Ampera. Mendengar nama Ampera, saya teringat warung makan padang bernama Ampera yang banyak tersebar di jakarta. Namun rupanya, bukan masakan padang yang tersaji di sana, melainkan masakan khas sunda.
Keesokan harinya, saya diajak keluarga Teh Lia untuk mencicipi makanan di restoran Alas Daun, dimana nasinya tidak disajikan dengan piring melainkan daun pisang. Yang terpikirkan di benak saya saat itu adalah berapa banyak pohon pisang yang mereka miliki untuk diambil daunnya setiap hari, belum lagi melihat antrian pengunjung yang terus berdatangan jelas menampakkan bahwa restoran itu selalu ramai, mungkin mereka memiliki kebun pisang sendiri atau mengambil suplai dari petani pisang di sekitar Bandung. hehe.
Setelah makan di Restoran Alas Daun saya diajak jalan-jalan mengelilingi Bandung, meski tak sempat berhenti untuk foto-foto. Saya cukup puas melihat Gedung Sate dari balik jendela mobil, dan jalanan terkenal di Bandung seperti Jalan Braga dan Jalan Dago. Cuaca Bandung yang labil, sebentar panas sebentar hujan juga menambah seru petualangan saya hari itu.
Esok harinya, Teh Lia mengantarkan saya ke perumahan Permata Cimahi untuk bertemu dengan Bunda Rani. Dengan Bunda Rani saya kembali diajak jalan-jalan, kali ini dengan menaiki kereta api lokal Bandung, mirip dengan Commuter Line di Jakarta yang melayani rute lokal sepanjang Bandung. Saya dan Bunda Rani serta empat orang anak SMP yang menemani kami turun di stasiun Bandung menuju Dago, kemudian berhenti untuk mengunjungi Universita Padjajaran. di Sana saya mencicipi ayam goreng sambel gelo yang rasanya mantap sekali. Belum lagi ayam goreng yang disajikan dengan Kol goreng, biasanya kol dijadikan lalapan dengan disajikan mentah, ini malah digoreng. Unik sekali.
Benar-benar weekend tak terlupakan di Bandung. Dan saya tak ragu untuk mengulanginya di lain waktu. :)
sumber foto: koleksi pribadi