Lihat ke Halaman Asli

Tanondazo, Eisaa Kun!

Diperbarui: 19 November 2016   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: acerid.com

Di dunia ini ada orang-orang cerdas yang tak mendapatkan pendidikan seperti pada umumnya. Bagaimana mereka bisa menjadi secerdas itu, aku juga tidak sepenuhnya paham. Mereka bukan lahir pada generasi digital sehingga tidak menaruh minat pada internet. Tidak juga pada koran-koran, karena koran yang mereka dapat adalah dari bungkus nasi pecel. Tapi mereka memang bisa calistung: membaca merek pupuk, menulis nama di rapor anak, dan menghitung takaran pakan konsentrat sapi perah. Generasi yang lahir tahun 50-an ini barang kali mewarisi kecerdasan dari pejuang perang. Pikirku begitu. Ambillah contoh, Kakek Bandi.

"Mbah, Sampeyan apa nggak takut ditangkap jaga wana?" Tanya seorang lelaki pada Kakek Bandi. Yang dimaksud dengan ditangkap adalah karena Kakek Bandi ini kadang (sering) mengambil daun-daun pohon sengon di hutan produksi. Terang saja kalau sengon tak punya daun, tak bisa menjulang tinggi. Lelaki yang sedang menunggu itu juga mengira-ngira jawaban dari Kakek Bandi. Pikirnya, jawabannya akan "Ya takut, lah!" atau "Nggak takut, lah! Mereka yang takut."

"Harusnya memang aku ditangkap. Tapi kalau aku bisa nangkap orang-orang model kamu ini, aku nggak jadi ditangkap. Wong kamu juga nggantholi godhong sengon."

Lelaki yang bertanya tadi melongo. Bagaimana tiba-tiba lelaki itu terseret dalam jawaban Kakek Bandi, masih belum masuk ke akalnya. Rasanya seperti melempar joran pancing lalu ikut tercebur diseret ikan. Kakek Bandi meledak hahaha-nya.

Orang-orang macam Kakek Bandi adalah salah satu dari beragam jenis orang yang ditemui kakakku saat menawarkan alat pel dari pintu ke pintu. Kakakku memang lulusan teknik lingkungan, jadi masih berhubungan dengan alat pel. Menurutnya begitu. Aku juga setuju.

Kalau hari sudah petang, kakakku pulang ke rumah kontrakan di sebelah garasi Bus Pelita. Lepas melempar sarung sekembalinya dari masjid, ia bisa di mana saja: warung kopi, terminal, pom bensin, atau angguk-angguk di teras menatap bangku bambu seperti malam ini. Di atas bangku, cangkir kopi tanpa tatakan menemani notebook. Syahdu. Uap meliuk-liuk seperti penari legong hendak lari, takut oleh mata kakakku. Notebook silver itu sunyi tapi menyala, seolah bingung hendak apa

 Otak i5 di dalamnya hendak bertanya balik,"Mau jadi apa aku di tangan salesman alat pel?" Kakakku meraih tas selempang kecil, mengeluarkan kartu-kartu berwarna hijau, membaca, menindis-nindis tombol angka. Kalau saja kakakku dengan sukarela membuka aplikasi task manager bagian performance, angka nol pada processor usage akan menandakan bahwa notebook itu mencibir kakakku dengan jumawa, "Kau gila kalau hanya menyuruh-nyuruh aku dengan rumus =sum(B55:B63)." Kakakku diam. Diterimanya saja cibiran itu dengan terus menindis-nindis lagi tuts angka. Lepas puas, ia beranjak. "Setoran dulu," pamitnya padaku sambil menenteng tas dan kartu-kartu tagihan kredit. Di ruang tamu, aku mengangguk. Netbook 10" di depanku meraung-raung gelisah oleh sebab kipasnya tak mampu mengusir gerah.

***

Sore hari. Hujan sesiang tadi membuat udara agak dingin. Beberapa lembar daun pohon mangga tersebar di halaman. Bunga dan pentil mangga juga rontok sebagian, aku dorong-dorong dengan sapu lidi supaya masuk pengki. Di gerbang rumah, kakakku bertabik salam lalu masuk rumah. Melintasi sampingku, wangi parfum menguar. Sejak menjadi salesman, baunya menjadi wangi (atau karena wangi lantas ia jadi salesman?). Kakakku ke belakang rumah. Mendengar bunyi "ctrek!" kenop kompor, aku menduga akan ada serbuk kopi yang berteriak kepanasan disiram dalam cangkir.

Seperti kemarin, lepas petang kakakku menghadap bangku bambu. Kali ini kopinya sudah tinggal ampas. Agak aneh petang ini, karena kakakku tak pernah bisa duduk lama tanpa kopi. Ia masih manggut-manggut. Notebooknya mengedipkan-ngedipkan kursor. Aku sendiri di ruang tamu bersungut-sungut. Netbookku pingsan kepanasan. Komputer berumur 6 tahun ini mungkin sudah lelah setelah meraung-raung minta ganti. Aku melirik celah jendela, beranjak keluar ke teras. Kakakku melirik pun tidak, saat aku berdiri menghadap pohon mangga. Supaya keganjilan petang ini impas, aku membuka bicara.

"Mau nggambar?" Begitu tanyaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline