Sumber gambar; Kompas.com (Useetv.com) Pagi ini kita dihebohkan dengan berita tentang ulah Munarman, jubir FPI, yang menyiram Thamrin Amal Tamagola dalam dialog secara live di acara Apa Kabar Indonesia TV One. Topik dialognya tentang pelarangan sweeping tempat hiburan malam selama bulan ramadhan. Apa yang dilakukan Munarman sejatinya sangat memalukan, bukan hanya karena apa yang ia pertontonkan tersebut ditayangkan secara live di salah satu TV swasta nasional, tapi prilaku primitifnya tersebut dilakukan dalam konteks tidak bisa menerima perbedaan pendapat dalam sebuah dialog. Jika ditarik lebih jauh, Munarman juga menyandang status sebagai jubir FPI, sebuah organisasi Islam yang memang kerap melakukan aksi sweeping di tempat-tempat hiburan. Sejatinya, kalau kita menyadari akan prinsip-prinsip agama (Islam) maupun prinsip-prinsip bernegara, tentu tindakan penyiraman terhadap lawan dialog sebagaimana yang dilakukan Munarman tidak akan pernah terjadi. Sebab baik Islam maupun negara telah mempunyai aturan-aturan tersendiri. Dalam Islam, misalnya, amar ma'ruf dan nahi munkar itu ada cara-caranya. Menganjurkan dan menyampaikan kebenaran itu harus dilakukan dengan cara-cara yang benar pula. Begitu juga ketika mencegah kemunkaran atau menghilangkan kemungkaran juga harus dilakukan dengan cara-cara yang ma'ruf pula. Ibaratnya, jangan pernah menegakkan kebenaran dengan cara-cara yang munkar, jangan pula pernah menghentikan kemunkaran dengan cara yang juga munkar, karena yang demikian jelas akan bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri. Jika kita bicara dalam konteks negara, melalui daerah masing-masing mereka juga sudah punya aturan tentang tempat hiburan malam terlepas kita setuju atau tidak dengan aturan yang sudah ada. Jika memang kita tidak setuju, tentu salah satunya adalah dengan cara dialog dengan pemerintah setempat. Jadi, dialog adalah salah satu kunci penyelesaian masalah yang ada. Jika dialog adalah salah satu pintu untuk sebuah solusi, tentu prinsip saling menghargai perbedaan pendapat juga tidak bisa diabaikan dalam dialog. Tidak akan menemukan titik temu jika dalam sebuah dialog salah satu pihak justru hanya mengandalkan ego pendapatnya yang harus diterima, sementara pendapat lain justru dianggap salah. Berkaca pada apa yang dilakukan Munarman sejatinya juga adalah salah satu bentuk pemaksaan kehendak atas sebuah pendapat. Bukan hanya keegoannya yang sangat nampak di sana, tapi juga kurangnya sikap menghargai lawan bicara yang kebetulan beda pendapat dengannya. Mengontrol emosi sangatlah perlu bagi siapa saja dalam dialog atau musyawarah terutama jika berkaitpaut dengan masalah yang subtantif dan mendasar. Sebab esensi dialog adalah mencari solusi dari kebuntuan pendapat atau dari banyaknya perbedaan pendapat yang ada. Semoga kita bisa mengambil pelajaran, semoga kita bisa mengambil hikmah dari kejadian di atas. Bahwa saling menghargai adanya pendapat yang berbeda-beda dalam sebuah dialog adalah sebuah keharusan. Jum'at Mubaarak. 28-06-2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H