Lihat ke Halaman Asli

Rhoma Effect Lebih Dahsyat dari Jokowi Effect?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak ada kejutan berarti dari hasil Pemilu Legislatif yang digelar rabo (9/04) kemarin. Berdasar hasil Quick Qount beberapa lembaga survey, hasilnya tak jauh beda dengan hasil survey beberapa lembaga yang digelar beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelum Pileg, yakni menempatkan PDI Perjuangan sebagai pemenang dan terlemparnya Demokrat dari tiga besar.

Namun berdasar hasil hitungan cepat beberapa lembaga survey, PKB adalah partai yang meraup hasil cukup maksimal, bahkan hasilnya melebihi survey sebelum pileg. Padahal karena sebab tertentu, PKB jelas kehilangan sayap dukungan dari barisan Gusdurian yang memang masih enggan membela PKB jika masih dipimpin Muhaimin Iskandar.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkan fenomena PKB tersebut, salah satunya adalah keputusan PKB yang mengusung raja dangdut Rhoma Irama sebagai Capres. Tentu alasan lain semacam tak adanya partai ‘lain’ yang dianggap bisa mewadahi aspirasi kaum nahdliyyin juga tak bisa diabaikan begitu saja. Tak lolosnya PKNU sebagai partai peserta juga merupakan ‘berkah’ bagi PKB, sebab hampir sebagian besar pendukung PKNU kembali ke PKB.

Suara PKB Terdongkrak oleh Pencapresan Rhoma?

Pada saat PKB mencalonkan Rhoma Irama sebagai Capres, semua tentu sudah mafhum bahwa PKB hanya akan memanfaatkan figur Rhoma yang memang sangat terkenal dikalangan akar rumput dan pedesaan untuk mendulang suara PKB. Meski Muhaimin Iskandar beberapa kali berlagak serius ketika ditanya wartawan tentang pencapresan Rhoma, namun sejatinya hal tersebut hanyalah strateginya belaka. Sebab ia tentu sadar bahwa syarat sebuah partai bisa mencapreskan itu tidak mudah, tapi minimal partai tersebut harus memperoleh suara 20 persen.

Hal di ataslah sejatinya yang menjadi sasaran PKB, terlebih dalam perjalanannya, beberapa DPC dan DPW PKB juga mencapreskan Mahfud MD dan bahkan Jusuf Kalla. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa pencapresan Rhoma sejatinya tak serius dan hanya dimanfaatkan popularitasnya saja.

Yang menarik, perolehan suara PDI Perjuangan tak sesuai harapan. Meski keluar sebagai pemenang, namun dengan hasil 19-20 persen sesungguhnya di luar target. Sebab PDI Perjuangan pada awalnya menargetkan suara dikisaran 25-30 persen agar lebih leluasa mengegolkan Jokowi sebagai presiden.

Pencapresan Jokowi beberapa minggu sebelum pileg yang diharapkan bisa mengatrol suara PDI Perjuangan juga tak terbukti. Hal ini sebetulnya pada detik-detik terahir sebelum pileg sudah bisa terbaca bahwa pencapresan Jokowi tak otomatis membawa keuntungan suara bagi PDI Perjuangan. Ada beberapa alasan yang menunjang argumen di atas;

Jokowi yes, PDI P No..!

Kehadiran slogan “Jokowi yes, PDI Perjuangan No”adalah jawaban sahih bahwa pendukung Jokowi yang begitu banyak tak otomatis memilih partai pengusungnya. Mereka beranggapan bahwa dalam pileg, mereka bebas menentukan wakil-wakilnya di legislatif. Hal ini jelas tak ada sangkut pautnya dengan pemilihan presiden nanti.

Sebagai pendukung analisa di atas, beberapa waktu yang lalu, saat kampanye di Jateng, Harjanto Y Thohari, salah satu Ketua Golkar, cukup kaget ketika mendengar jawaban dari simpatisan Golkar bahwa mereka akan memilih Jokowi dalam Pilpres. Pernyataan dan keyakinan pilihan sebagaimana yang diungkapkan simpatisan Golkar tadi tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada simpatisan partai lain. Dalam arti, pilihan partai dan Capres berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline