Lihat ke Halaman Asli

Lirihku di Bawah Langit

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

saat mentari mulai tak panas lagi
saat nurani mulai tak berasa lagi
saat itu keberadaan diri tak lagi berarti
terhempas dalam hening yang tak bertepi

banyak kesepedihan dibawah langit
adakah hati yang tak terjangkit?
terhalau dari pekatnya lantunan bait
tak terdekap hanya terjepit

mengapa hati resah melihat perih
bukan mengepul kebajikan hanya letih
menafsir goresan dengan akal yang tertatih
berharap mereka harus mengerti maksud hati

sudahlah, bila mereka tak ingin mengerti
bukan laku yang tak mau menepi
bukan pula hati sebab hati sekeras besi
lalukan saja bila memang tak berarti

kemudian aku bertanya dalam hati
"apa gerangan tingkah manusia ini?"
mengumbar perih dalam hati
menggengam erat sang belati

bukan..bukan, bukan itu yang dikehendaki
hati bukan untuk di maki
hidup bukan untuk di mati
jangan..jangan lagi

bumi muak mendongak meniti
langit bosan menangis lirih
namun anak manusia laju bengis
tanpa akal untuk berhenti

puas tak mungkin didapati
adakah kesenangan dalam duniawi?
yang berharap selalau menanti surgawi
namun tetap jua harus diadili

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline