Lihat ke Halaman Asli

#Daster Hitam 2

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu kejadian yang sampai sekarang tidak bisa aku lupakan. saat itu musim hujan dan sepertinya hari itu pun akan turun hujan. Aku dan tiga kakak kelasku yaitu mba baroyah, mba syirkah dan mba fitri sudah janjian akan pulang bersama dan tidak ikut jemputan, rute yang harus kami lewati yaitu denan menaiki angkot T16 milik KWk dari depan gerbang sekolah dan disambung dengan angkot 97 yang berwarna biru. Atau kami bisa berjalan melewati komplek perumahan, kira-kira satu kilometer, barulah kami bisa naik angkot 97, malangnya dua diantara kami tidak punya uang untuk membayar angkot T16, akhirnya kita membuat kesepakatan untuk jalan kaki lewat perumahan-perumahan yang nantinya tembus di jalur angkot 97 yang mengantarkan kami ke depan gang pantitempat kami tinggal. Ditengah perjalanan.

Hujan turun tanpa kompromi, tidak ada pilihan lain kecuali kami menantang hujan dan merelakan seragam kami basah kuyup, beruntung saat itu hari rabu, jadi bukan jadwal kami puasa dan besok kami ganti dengan seragam batik sekolah. Awalnya kami menikmati dengan berlarian kecil sambil bernyanyi-nyanyi, sesampainya di jalur angkot 97 kami langsung menaiki angkot dan harus membayar lima ratus rupiah. Dengan seragam basah kuyup dan angin yang masuk melalui pintu dan jendela mobil, membuat kami mengigil, dinginya menusuk hingga ketulang-tulang.

Perjalanan kami tidak berhenti sampai disitu, setelah turun dari angkot 97, kami harus berjalan kira-kira 200 meter, disitu kami harus hujan-hujanan kembali. Satu diantara kami, mba baroyah tiba-tiba menggigil dengan hebat, bibirnya pucat, berteriak-teriak dan lari dengan sempoyongan. Awalnya aku berfikir “ah namanya juga kehujanan, pastilah dingin, setelah mandi dan mengenakan baju hangatpun akan hilang”. Kami berusaha mengejar, dan kamipun mengikuti gayanya berlari-lari, karna kami fikir dia sedang menikmati seperti halnya perjalanan kami tadi. Namun sesampainya di halaman panti dia terjatuh dan dia pingsan. Kami bertiga hanya berdiri kaku seperti patung, sampai ada anak panti lain yang langsung berlari dan menolongnya. Kami tersadar ternyata dia memang benar-benar merasakan sakit dan bukan mengajak kami bermain-main. Sementara dia ditolong oleh beberapa anak, kami ber tiga membersihkan diri, dan bersiap-siap menghadap panggilan ibu.

“kalau mau hujan, kenapa tidak nelfon kerumah? Kan bisa dijemput sama uwak Huri.”

“besok-besok jangan seperti itu lagi, kalau terjadi sesuatu dengan kalian kan ibu juga yang repot.”

Kami hanya terdiam dan setelah itu, kamipun mengulanginya, hanya saja kami tidak berani mengajak teman kami yang pingsan saat hujan. Peristiwa itu tidak akan pernah terlupakan, dengan mencoba menikmati segala keterbatasan dan kekurangan, karna kami tahu, ibaratkan bayi, panti masih merangkak dan belum mampu berdiri tegak, apalagi untuk berjalan dan berlari meninggalkan segala ketertinggalan. Kami hanya mengandalkan pada kekuatan ibu yang berjuang menghidupi kami, membiayai pendidikan kami, Dan sekali lagi, kami tahu itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline