Kata nikah sudah terikat dengan manusia sejak dahulu kala. Mulai zaman Nabi Adam as hingga anak cucu nanti, praktek nikah akan tetap dilakukan umat manusia. Hal ini tidak dapat dihindari karena menikah merupakan satu-satunya cara untuk meneruskan keturunan. Selain itu, hanya dengan menikahlah seseorang dapat mencurahkan fitrah cintanya dengan halal.
Nikah merupakan sebuah akad yang dilakukan untuk menyatukan dua insan dengan tujuan melaksanakan sunah Rasulullah saw serta melanjutkan keturunan ke generasi berikutnya. Akad nikah ini merupakan ritual sakral yang biasa diselimuti dengan suasana haru dan bahagia. Namun tidak semua pernikahan diselimuti dengan suasana tersebut.
Beberapa diantaranya hanya dilakukan atas dorongan nafsu belaka seperti praktek nikah mut'ah yang sempat dilegalkan pada masa Rasulullah saw. Hingga saat ini, nikah mut'ah masih dilakukan oleh beberapa kalangan. Kalangan yang paling terang-terangan melakukan praktek pernikahan ini adalah kalangan Syi'ah.
Perlu diketahui nikah mut'ah adalah pernikahan yang dikaitkan dengan tempo. Atau lebih lengkapnya pernikah ini juga didefinisikan dengan sebuah pernikahan yang dibatasi oleh waktu dengan bayaran sebuah upah atas istimta' yang telah dilakukan serta dijalankan tanpa adanya wali dan dua saksi.
Sesuai dengan namanya, tujuan dari pernikahan ini memang hanya sekedar untuk mengambil manfaat, kenikmatan, atau kelezatan dari seorang wanita, bukan untuk meneruskan keturunan.
Penyebab dari kelegalan nikah mut'ah pada zaman Rasulullah saw adalah karena dalam kondisi berperang, jauh dari pelukan istri, dan digunakan untuk meredam hasrat yang kian membrutal sedangkan berpuasa tidak efektif sebab kondisi peperangan itu sendiri.
Mengenai hukum nikah mut'ah ini, para ulama fikih, baik dari kalangan Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, maupun Hanabilah telah sepakat akan keharaman untuk mempraktekkannya dengan alasan mereka masing-masing.
Menurut kalangan Syafi'iyah jelas melarang nikah mut'ah karena praktek nikah ini banyak menyalahi kriteria pernikahan yang sah dalam madzhab mereka.
Pertama, pernikahan jenis ini dilakukan tanpa adanya wali dan saksi yang mana kedua hal tersebut merupakan rukun dari rukun-rukun nikah. Kedua, dalam nikah mut'ah terdapat pengajuan syarat yang fasid (merusak), yakni pengajuan tempo yang selalu disertakan dalam akad nikah mut'ah. Ketiga, akad yang dipakai dalam nikah tersebut terkadang tidak memakai shigot yang sah, yakni menggunaka lafdz inkah atau tazwij, melainkan lafadz istimta' atau tamattu'.
Dalam madzhab Malilikiyah memang tidak menjadikan saksi sebagai salah satu rukun dari ruku-rukun nikah. Namun wali tetap harus dihadirkan ketika akad. Alasan kedua adalah karena akad dalam nikah mut'ah dikaitkan dengan tempo atau waktu. Hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai apakah akad nikah ini rusak tanpa adanya talak setelah melakukan hubungan intim atau setelahnya.
Pendapat mengenai rukun-rukun nikah yang masyhur dalam madzhab Hanafiyah memang mengatakan bahwa rukun-rukun nikah hanya ada dua, yakni ijab dan qobul.
Namun sebagian ulama dari kalangan mereka mengatakan bahwa saksi harus dihadirkan ketika akad agar dapat menghindari tuduhan zina, bukan untuk melindungi akad ketika ada penginkaran karena perlindungan akad akan tercipta secara otomatis dengan cara menghadirkan saksi. Alasan lain mengenai keharaman nikah mut'ah adalah karena dikaitkan dengan waktu atau tempo.