Indonesia sebagai negara demokratis memiliki sistem hukum yang berfungsi sebagai kerangka kerja utama dalam mengatur tatanan masyarakat. Undang-undang adalah perangkat penting dalam sistem ini, menjadi instrumen yang menentukan hak dan kewajiban warga negara serta arah kebijakan negara. Undang-undang yang merupakan tulang punggung dari sebuah sistem hukum berfungsi sebagai panduan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pembentukan undang-undang di Indonesia adalah proses yang rumit dan melibatkan berbagai pihak, termasuk badan legislatif, pemerintah, dan masyarakat sipil.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Perihal Undang Undang Di Indonesia menyatakan, bahwa perumusan standar hukum dalam rancangan undang-undang seharusnya dilakukan melalui pertimbangan yang cermat dan melalui refleksi yang mendalam, dengan fokus utama pada kepentingan umum (public interest) daripada kepentingan pribadi atau segelintir kelompok.
Dalam beberapa tahun terakhir, dua elemen kunci semakin menjadi sorotan dalam konteks proses pembentukan undang-undang Indonesia: peran Mahkamah Konstitusi (MK) dan partisipasi publik. Sebagai lembaga yang melindungi konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam waktu yang sama, partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang menjadi semakin penting karena tuntutan untuk melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka
Kewenangan DPR RI Dalam Pembentukan Undang Undang
Setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kewenangan untuk membentuk undang-undang telah dialihkan dari Presiden dan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Wewenang pembentukan undang-undang ini diwujudkan ke dalam fungsi legislasi DPR yang bersumber Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan:
1. DPR memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang.
2) Pembahasan dan persetujuan bersama atas setiap rancangan undang-undang harus dilakukan oleh DPR dan Presiden.
3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang tersebut tidak dapat diajukan kembali dalam persidangan DPR masa itu dan
4) Presiden wajib mengesahkan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama untuk menjadi undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut secara otomatis sah menjadi undang-undang.