Masyarakat multikultural merupakan sebuah realita, realita semakin beragam masyarakat dunia yang memiliki power untuk mendorong sebuah sistem politik, pendidikan, dan ekonomi yang telah ada untuk berubah. Penduduk dunia hidup dalam kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang etnik dan bangsa bahkan agama berbeda. Berbicara multikultural dari sisi agama pastinya sudah sangat jelas bahwa tradisi agama telah mendarah daging dalam sejarah kehidupan umat manusia. Eropa dan Amerika dengan tradisi Kristen, Timur Tengah dengan tradisi Islam, Cina dengan tradisi Konfusianisme, Thailand dengan tradisi Budhisme, India dengan tradisi Hinduisme, dan masih banyak lagi tradisi keagamaan lain yang tidak cukup untuk disebutkan satu persatu di sini.
Dalam setiap tradisi besar (High tradition), harus dilihat pula tradisi kecil (Low Tradition) yang menyertainya. Di Eropa mencakup tradisi Katolik dan Protestan, dengan tradisi Protestan yang terbagi lagi menjadi beberapa denominasi, masing-masing dengan kebiasaan dan praktik yang berbeda. Timur Tengah adalah rumah bagi tradisi Islam Sunni dan Syiah. Dalam agama Buddha, ada dua cabang utama yang dikenal sebagai Hinayana dan Mahayana. Di dalam masyarakat Sunni Asia Selatan, penting untuk menahan diri untuk tidak menyebut beberapa kelompok, seperti Ahmadiyah, Deoband, Jamaah Tablig, Taliban, dan lainnya, sebagai aliran.
Multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai pengakuan bahwa suatu bangsa atau masyarakat dicirikan oleh berbagai budaya dan identitas yang berbeda. Di sisi lain, tidak semua negara hanya terdiri dari satu budaya. Multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai penerimaan dan pengakuan terhadap keragaman sebagai aspek yang normal dan diinginkan dalam masyarakat. M. Arfah Shiddiq dalam jurnalnya yang berjudul Islamic World Unity Through Developing Cross-Culture Communication and Religion menguraikan bahwa kata multikultural bermakna multi (banyak), cultere (budaya). Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup di tengah-tengah budaya, etnis dan kepercayaan yang berbeda. Oleh karena itu, setiap orang memiliki rasa berharga dan secara bersamaan mengemban tanggung jawab untuk hidup berdampingan dalam kelompok mereka. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui, merupakan akar dari ketimpangan-ketimpangan di dalam pengembangan wawasan multikultural.
Multikulturalisme bisa dikatakan sebagai sebuah pendekatan dan perilaku yang mempromosikan keadilan dan ketidakberpihakan terhadap realitas plural dan keberagaman. Berbeda dengan pluralisme dan keragaman, yang terutama melibatkan pengakuan atas realitas ini, multikulturalisme lebih dari sekedar kesadaran dan penerimaan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Multikulturalisme dicirikan oleh sikap dan pendekatan yang mengutamakan kesetaraan di atas kemajemukan dan keragaman. Oleh karena itu, multikulturalisme memerlukan lebih dari sekadar disposisi orang dan komunitas terhadap orang lain. Selain itu, penerapan multikulturalisme memerlukan integrasi ke dalam kebijakan oleh individu-individu yang memiliki otoritas atau mereka yang bertanggung jawab untuk membuat keputusan.
Di tengah dinamika Timur Tengah yang terus berkembang, identitas Sunni menjadi pusat perhatian dalam konteks multikulturalisme dan perubahan identitas. Di dunia yang semakin saling terhubung ini, identitas Sunni dihadapkan pada tantangan kontemporer yang menguji kekokohan nilai-nilai tradisional, sekaligus menghadapi ketegangan sektarian yang dapat mempengaruhi hubungan antar komunitas.
Tantangan Kontemporer Terhadap Identitas Sunni
Identitas Sunni di Timur Tengah saat ini sedang menghadapi banyak masalah yang rumit. Era kontemporer yang ditandai dengan globalisasi, teknologi, dan transformasi budaya, telah menghadirkan tantangan yang memaksa komunitas Sunni untuk merenungkan dan beradaptasi dengan dinamika baru yang berdampak pada sifat fundamental mereka. Fenomena globalisasi tidak hanya berkontribusi pada kemajuan di berbagai bidang, tetapi juga memberikan pengaruh yang besar terhadap identitas Muslim Sunni. Transmisi pengetahuan global dapat mengubah pandangan individu terhadap prinsip-prinsip Sunni konvensional. Pergeseran ini menimbulkan kesulitan dalam mempertahankan identitas dan prinsip-prinsip spiritual yang berbeda dalam menghadapi tren global yang dapat memicu perubahan dalam cara hidup dan cara pandang seseorang.
Dengan kemajuan peradaban, maka tidak bisa menafikan bahwa teknologi modern dan media sosial menawarkan tempat yang berpengaruh, meskipun mereka juga bisa menjadi pedang bermata dua yang berdampak pada identitas Sunni. Penyebaran informasi yang cepat melalui media ini dapat menimbulkan representasi visual yang salah atau merugikan. Tantangan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana menggunakan teknologi secara efektif sambil mempertahankan integritas identitas seseorang.
Selain itu masalah konflik sektarian serta polarisasi politik juga menjadi sebuah tantangan serius bagi identitas Sunni. Perselisihan ini berpotensi mengikis persatuan internal dan menyebabkan perasaan tidak aman. Identitas Sunni ditantang oleh pertanyaan-pertanyaan krusial mengenai pelestarian tradisi sambil mengadvokasi perdamaian dan dialog. Tantangan mengenai sebuah steteotip serta diskriminasi juga masih melekat dalam identitas sunni, Kekeliruan persepsi atau prasangka terhadap Sunni dapat menghalangi pembentukan hubungan yang bersahabat dengan kelompok lain.
Sangatlah penting untuk terlibat dalam upaya-upaya untuk melawan kesalahpahaman dan mendorong dialog antar agama untuk mempertahankan identitas ini. Serta yang terakhir mengenai tantangan ancaman radikalisasi serta esktrimisme juga menjadi problem penting yang mempengaruhi identitas sunni. Keseimbangan yang rumit antara menjunjung tinggi prinsip-prinsip agama dan melawan berbagai manifestasi ekstremisme adalah ujian yang sangat penting. Menggunakan narasi yang inklusif dan menyajikan alternatif yang konstruktif adalah taktik penting untuk memerangi ancaman ini.