Di era yang penuh dengan komunikasi visual, suara, serta status di media sosial, mengapa kita masih perlu menulis dengan baik?
Apa alasan menulis dan seberapa penting menulis untuk kehidupan kita?
Pertanyaan seperti itu muncul saat kamu diminta untuk menuliskan laporan atau tugas paper di kampus. Atau, jika kamu terpaksa harus menulis atas permintaan yang tidak bisa kamu kendalikan. Kamu enggan menulis, tapi harus melakukannya.
Kamu barangkali berpikir, setelah lulus akan terjun ke industri IT, telekomunikasi, disain grafis, atau fotografi yang tak membutuhkan kemampuan menulis yang tinggi.
Kamu juga berkata orang bisa tahu isi pikiranmu dengan menulis di status singkat Facebook atau 140 karakter kicauan di Twitter, dan kamu mulai bertanya,”untuk apa saya menulis?”
Pertanyaan seperti itu kerap muncul di benak saya di masa-masa remaja hingga kuliah. Saat itu saya memang tidak terlalu tertarik bidang penulisan.
Ketika itu saya memang sudah menulis, tapi karena tugas atau perintah. Atau, saya menulis ocehan singkat. Saya tidak tertarik merangkai kata demi kata menuangkan isi pikiran saya dalam sebuah tulisan yang runut.
Saya akhirnya tahu alasan utama menulis ketika mengadakan workshop dengan komunitas Manna Doa di Yogyakarta.
Pembicara saat itu yang juga merupakan mentor saya, William Aipipidely, mengungkapkan alasan utama menulis adalah proses mencipta. Ketika kamu menulis maka kamu adalah sang pencipta.
Eskpresi diri memang dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk termasuk seni gerak dan visual seperti tarian dan fotografi. Meski demikian menulis memiliki nilainya sendiri.
Jika kamu pernah belajar sejarah di sekolah, kamu akan mengingat bahwa menulis memiliki nilai penting dalam perjalanan sejarah sebuah bangsa. Satu bangsa dikatakan telah masuk ke dalam masa sejarah ketika bangsa itu telah melahirkan peninggalan berupa bahan-bahan tertulis.