Lihat ke Halaman Asli

Money Politic baik atau buruk?

Diperbarui: 5 September 2015   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Hari Sabtu tanggal 29 kemarin saya pulang kampung, pulangnya saya kali ini bukan hanya untuk silaturahmi kepada kedua orang tua dan keluarga, atau cekakak cekikik ngobrol ngaler ngidul bareng kawan lama, tapi karena di desa tempat saya dilahirkan dan dibesarkan akan mengadakan pemilihan kepala desa. “Eh ky lo mau pilih no 3 atau 4? Lo kalo mau pengen amplop pilih bareng gue, lumayan buat beli rokok!” kata temenku saya langsung aja sepontan jawab, “ya udah gue mau pilih no 4 bareng lu!” lumayankan saya dapet duit, toh siapa yang saya pilih dia ga bakalan tau, “tapi lo jangan kecawin gue, karena malunya gue sama kaya malunya lo!” katanya, “maksudnya gimana ya?” kata saya sembari muka bingung, “iya, kalo no 4 kalah gue bakalan malu dan lo juga harus malu, karna ini amanat”, jelasnya, “oh yaa siap”  tutup saya  “masa kesalahan disangkutkan dengan amanat” dumel saya dalam hati.

                Setiap kali saya pulang ke rumah saya pasti selalu sempattkan keliling ke rumah sodara sodara karena saya ga setiap hari ada di rumah, dan kebetulan hamper seluruh keluarga saya mengusung no 4 di pelihan Kades ini,  entah karena dapet amplop atau karena salah satu “penyuplay modal” dari calon Kades cukup dekat dengan keluarga besar kami, kecuali bapak saya yang lebih membuka mata akan praktek Money Politic itu salah. “Ky lo pilih no 4 ya besok!” tegas om saya, “emang kenapa om?” jawabku, “ya jangan kaya bapakmu yang kekeh gam au pilih no 4, padahal dan bla bla bla” katanya membahas kabikan yang udah dia lakuin dan sedikit menjelek jelekan bapak saya, “untuk sekarang ini dulur jadi batur (sodara jadi orang lain dalam sunda)” terusnya, padahalkan yang  saya tahu dalam pemilu kita harus mengusung konsep LUBER Luas Umum Bebas Rahasia, tapi ko mereka seolah maksa, tapi entahlah, daripada saya berdebat panjang dan saya disudutkan oleh beberapa sodaraku yang ikut ”nimrung” dalam percakapan itu, karna pandangan saya yang menurut saya Money Politic itu salah, saya iya-iya aja, kaya orang bego hehe,  “oh ya om saya pasti pilih no 4 ko!” jawabku toh fikir saya sama dia ga bakalan tau siapa yg saya pilih, yang saya heran kenapa yang “hanya” pemilihan kepala Desa sampe panas dan mengorbankan tali persodaraan. “oh ya om emang gaji Kades berapa?” tanyaku, “gajinya sih kecil paling ga sampe Rp. 5000.000,- tapi untuk pemerintahan sekarang bakalan ada dana Desa yang lumayan besar” jelasnya, “berapa om?” Tanyaku penasaran, “ ya katanya sih 1,3 M, walaupun ga korupsi ya minimal kades bisa bikin proyek sendiri dengan dana itu!” tutpnya. Oke saya paham jalur fikiran mereka sekrang, terang saja mereka “jor-joran” menggolontorkan dana toh kembali modalnya cepet hehehe fikirku.

                Hari Minggu tanggal 30 Agustus 2015 hari yang di tunggu-tunggu seluruh masyarakat desa saya dan desa tetangga pun tiba, karena kebetulan pemilihan kepala desa sekarang serentak di tiap desa di daerah saya. “Eky bangun udah siang milih sono, orang mah udah bejubel di lapangan buat milih Kades, kamu malah masih tidur” comel Mak yang baru pulang milih. Saya pun bergagas mandi, makan dan ngopi karena memang udah jam sepuluh hehehe. Tibanya disana benar saja sangan rame, dan sayapun menyerahkan kartu peserta pemilihan, tiba tiba ada yang nyamperin saya, dia salah satu orang yang “menyokong” dana calon no 4, “eh kamu pulang?” tanyanya, padahal jika hari-hari biasa jangankan nanya senyuk juga ga kalo berpapasan muka hehe, “ yanih kan mau nyoblos!” terangku “ jangan lupa ya, kalo masalah amplop entar abis milih kita ketremu!” lanjutnya, jangan lupa diatas maksudnya untuk memilih no 4, “iya”, jawabku dengan muka ramah, dalam hati emang surara gue bisa dibeli hahaha?

Singkat cerita, penghitungan suarapun berlangsung a lot karena baru selesai sekitar jam delapan malam, dan benar saja, yang menang itu calon no 4 dengan “modalnya” yang jor-joran itu, dan sialcalon yang saya pilih kalah, yang saya heran kenapa masyarakat kita terlalu haus terhadap uang, hanya diberikan uang yang jumlahnya gak terlalu besar mereka menurut saja apa yang diperintahkan, memang iya tingkat pendidikan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu terlebih terhadap politik. “percuma menang juga ga terlalu membanggakan, karna maik kotor!” celotehku kepada temanku yang ngasih amplop, “ah banyak omong lu, yg penting menang!”, terangnya tanpa ada rasa salah.  Wassalam

NB :sorry tulisannya berantakan heheh soalnya amatir




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline