Lihat ke Halaman Asli

Rindu di Perbukitan

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari menginjakkan kaki di tanah perbukitan, sementara kehangatan belum juga berkunjung.

Diantara kabut yang sepertinya enggan beranjak, tersimpan raut wajah yang diam.

Surini, wanita dengan rambut yang tergerai panjang dan kulit yang tak dapat menyembunyikan urat jaman yang menua. Pandangannya yang beku seperti mayat yang diawetkan di puncak bukit. Dingin angin pagi itu tak membuatnya beranjak dari tempat itu.

Wajah yang pudar itu tanpa suara, hanya sesekali mempererat dekapan sarung di badan. Pandangan itu begitu tajam tertuju, pada jalanan desa yang masih ditelan oleh kabut.

*****

Pukul lima pagi, kabut masih bersisa di antara rumah-rumah sederhana, wanita itu telah menempati singgasananya. Kali ini wajahnya lebih pudar.

Duduk sepanjang hari sepertinya menjadi pilihan bagi wanita itu. Ia tak pergi ke ladang seperti halnya wanita-wanita di desa kecil itu. Tidak juga membiarkan dirinya dimandikan asap dapur.

Tak banyak yang tahu apa sebenarnya yang ditunggu wanita itu. Sesekali orang bertanya, "Rin, ayo ikut ke ladang". Senyumnya mengembang, tapi tak ada kata yang keluar darinya. Kemudian ia kembalikan pandangannya ke jalan menuju desa, seperti berharap seseorang akan datang.

*****

Wanita-wanita desa telah menuju ladang, lelaki menggendong cangkul, sementara anak-anak bermain dengan riang. Anak-anak yang bergulir diantara kesibukan pagi, tanpa pengawasan. Mereka seperti remaja-remaja yang menjaga desa ketika orang-orang bertengkar dengan tanah ladang.

Surini masih terdiam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline