Lihat ke Halaman Asli

Petaka Deforestasi dari Kayu Api

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418238209391045669

[caption id="attachment_340622" align="aligncenter" width="640" caption="Warga Desa Kendautana, Sumba Barat Daya, NTT, bersama tim Ekspedisi Sumba 2014 usai membangun reaktor biogas pertama di desa mereka. (Foto: Shally Pristine)"][/caption]

Rasio hutan per luas lahan di sana kurang dari 10 persen. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat memasak dengan kayu bakar.

Mimit mengarahkan kamera teleponnya ke jendela pesawat. Pesawat Nam Air yang kami tumpangi baru lepas landas dari Bandara Waingapu sekitar 5 menit lalu, membawa rombongan kembali ke Bali. Dari bangku F punyanya, Mimit leluasa memotret dataran Sumba dalam aerial view. Saya yang duduk di sebelahnya cuma bisa manyun iri.

"Sumba itu seperti batu besar yang kering, cuma ada hijau-hijaunya seperti retakan kalau ada sungai. Sisanya tandus." Dia bicara sendiri sambil menunjuk dengan telunjuk menempel di jendela fiber yang bening itu.

Begitu pilot bermanuver sedikit ke barat, barulah saya bisa melihat lansekap yang dibahas Mimit.

Padang sabana luas berwarna coklat tua--seperti kue kacang panggang yang telat diangkat--terbentang sampai jauh. Bentangan itu dikerat acak oleh aliran sungai yang juga menumbuhkan gerumbul tunas kehijauan di bantarannya. Curah hujan di Nusa Tenggara yang minim--sampai Sumba punya julukan Tanah Tiga Matahari--membuat pulau ini semakin kering karena lama terpapar panas sepanjang hari. Di sana sini, pohon kayu tumbuh kesepian karena seringkali hanya sendirian.

Ya, Sumba dalam ancaman deforestasi. Pemandangan dari atas pesawat tadi seperti mengonfirmasi kata-kata Kak Yane tempo hari. Kakak yang anak S2 Kehutanan di IPB ini bilang rasio hutan per luas lahan di sana kurang dari 10 persen. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat memasak dengan kayu bakar, seperti yang saya saksikan di Desa Kendautana, Sumba Barat Daya, NTT.

Waktu baru sampai di desa ini, tim kami dibagi jadi beberapa kelompok. Yang wanita memasak di tiga rumah berbeda, sedangkan yang laki-laki membuat lubang untuk reaktor biogas pertama di sana. Saya dan Desi kebagian tugas memasak di rumah Mama Panus.

Sambil memasak, saya mengajak wanita berusia 32 tahun ini bicara macam-macam sambil juga menerjemahkan untuk Desi agar londo satu ini bisa ikut mengobrol. Mulai dari anak tertuanya yang sedang bersekolah di kecamatan lain, cara memarut kelapa dengan alat kukur, sampai pasar yang diadakan tiap hari Kamis di desa sebelah.

"Berapa harga minyak tanah, Mama?"

"Mahal."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline