Lihat ke Halaman Asli

Presiden dan Pemimpin Harus Warga Negara Asli

Diperbarui: 10 Oktober 2016   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Syahdan, atas inisiatif beberapa partai, diamandemenlah salah satu pasal UUD tentang pemimpin dan warga negara. Setelah melewati proses diskusi dan rapat yang berkepanjangan, hasilnya adalah ketok palu:duk duk duk bahwa presiden harus warga negara asli. 

Kebetulan saat itu pelaksanaan pilpres sudah dekat. Maka momennya pun pas untuk penjaringan dan pencalonan. 

Yang mula-mula mengusung calon adalah gabungan beberapa partai kecil: Partai Kacang Ijo, Partai Jinten, Partai Biji Bayem, dan partai yang paling kecil, Partai Atom! 

Sejujurnya, mereka itu bingung mau mencalonkan siapa. Maklum, stok di dalam tidak ada. Beruntung saja sejumlah anak muda kreatif yang membentuk gerakan “Teman Hoki”. 

Mengapa “Teman Hoki”? Kebetulan beberapa di antara para pencetus dan pendirinya hobi main hoki – itu olahraga yang menggunakan bola kecil dan pemukul. Yang seorang lagi setuju nama itu karena dia belajar dan lama tinggal di Selandia Baru. Salah satu makanan favoritnya adalah ikan hoki – jenis ikan laut yang banyak ditemukan di perairan Selandia Baru. Sedang yang seorang lagi setuju apa saja yang berkaitan dengan “hoki”. 

Koalisi Kajinbatom (kacang ijo, jinten, biji bayem dan atom) sepakat jika “Teman Hoki” mampu mengumpulkan 10 juta KTP dari seluruh negeri maka nama itu akan diusung dan didukung sebagai calon pemimpin mereka. 

Hoki adalah kepanjangan dari Honanto Setiawan dan Kinanti Putri Ratu Prameswari.

Honanto adalah profesional dan sosial enterprener. Memulai karir sebagai profesional CSR di perusahaan asing, ia lalu keluar dan membangun sosial enterprenership sendiri. Jaringannya luas, di kota dan desa, di seluruh Nusanesia. Bagi orang berduit, Honanto adalah saluran cerdas yang bisa meningkatkan citra mereka sebagai orang dermawan dan pada saat yang sama membantunya mencari cara legal bagi pengurangan pajak melalui sumbangan-sumbangan kegiatan amal. Sedang bagi akar rumput, nelayan, petani hingga pelaku UKM, Honanto bisa mencarikan dana segar alternatif di luar bank dan sekaligus pada saat tertentu membantu mencarikan pasar baru bagi produk mereka. 

Di luar jejaringnya, Honanto punya nilai tambah lain: dia telah disunat!


***

Kinanti tak kalah menariknya. Dia adalah cicit buyut tokoh nasional masa lalu. Usianya muda. Pola pikirnya progresif. Awalnya bekerja sebagai bankir, setelah itu banting stir membuka usaha sendiri. Jalan yang dilaluinya berliku, jatuh bangun kayak lagu dangdut – kondisi yang membuat dia  terasing di antara keluarga besar. Dalam kondisi galau, dia sendirian berlibur ke Solo, nginepnya di kamar kos-kosan. Setiap tengah malam dia keluar, makan nasi kucing di perempatan jalan. Ya, nasi kucing – nasi murah dengan lauk seadanya untuk pegawai rendahan, buruh, tukang becak, dan mahasiswa yang bokek. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline