Lihat ke Halaman Asli

RT/RW Berpolitik vs Politik RT/RW

Diperbarui: 19 September 2016   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini saya membaca berita tentang rapat akbar RT/RW di Jakarta. Ya, bolehlah disebut rapat akbar karena sejumlah tokoh nasional hadir di sana. Minimal, pemberitaan media massa menyebutnya demikian.

Saya tidak ingin ikut-ikutan berpolitik. Apalah hak saya – toh saya bukan warga Jakarta. Sayapun tak berkeinginan untuk menggelar rapat akbar sejenis di kota tempat saya tinggal, Depok. Tapi sebagai orang yang sedikit banyak berpengalaman sebagai pengurus RT/RW (kini  memperoleh amanah sebagai Ketua RW dan periode sebelumnya jadi sekretaris RT dan sekretaris RW), saya terusik untuk ikut berbagi cerita. 

Pertama-tama, keaktifan saya di kepengurusan lingkungan RT/RW didorong mula-mula oleh keinginan untuk, istilah saya, membalas budi baik Bu RT tempat kami tinggal. Saya merasa Bu RT banyak membantu saya melancarkan banyak urusan. 

Ketika itu saya baru pindahan –hitungannya baru satu dua tahun, dan  kakak meninggal. Kabar meninggal ini saya terima sore menjelang pulang kerja. Saya dan istri masih dalam perjalanan pulang. Kemacetan luar biasa di Jakarta telah membuat kami tidak mungkin mengurus semuanya – di rumah kami cuma ada pembantu yang masih remaja dan seorang anak semata wayang yang masih SLTP. Bu RT, dengan bantuannya yang luar biasa, telah membuat semuanya menjadi mudah. Ketika sampai di rumah hampir pukul 21.00 malam, saya melihat semuanya sudah siap di meja ruang tengah: surat kematian dokter, surat pengantar ke kelurahan, dan urusan pemakaman. Bu RT-lah yang membantu menguruskan semuanya! Dan kebaikan Bu RT itulah yang membuat saya berjanji pada diri sendiri untuk aktif menjadi pengurus di lingkungan baru kami. 

Begitulah waktu berjalan. Awalnya saya membantu Bu RT yang dulu sebagai sekretaris, lalu naik menjadi Sekretaris RW, dan pada pemilihan Maret lalu saya pun terpilih jadi Ketua RW.

Sebagai Ketua RW, saya bertindak seperti laiknya “hub” atau penghubung – dari masyarakat kepemerintahan di atasnya atawa sebaliknya. Nah, di sinilah saya ingin berbagi.

Sudah lebih sebulan ini saya dibuat pusing tujuh keliling. Gara-garanya sampah! Menjelang Idul Adha lalu dua minggu lamanya sampah teronggok tidak terangkut di lingkungan pemukiman kami. Sehari-hari saya bener-bener bete: protes warga bersliweran – lewat telepon, WA dan fb di Erwedelapanbelas Cinere. Ada yang protes dengan cara guyon, ada yang serius, dan ada yang mengancam tidak akan membayar iuran bulanan. 

Saya mikir: lha salah saya apa? Kebijakan dan pengelolaan sampah jelas bukan wewenang dan kewajiban saya. Saya hanyalah “hub”. Dan yang saya lakukan adalah memprotes supervisor truk sampah Pemkot Depok dan sopirnya. Dan mereka juga punya jawaban: truknya rusak! Warga yang pintar-pintar protes lagi: pakai dong truk cadangan. Saya teruskan protes mereka ke supervisor dan sopirnya. Kalau sudah begitu, akan terjadi hal yang seperti ini: telepon tidak diangkat, sms dan WA pun tak berbalas. Mati kutu saya!

Kalau sudah suntuk begitu, saya langsung teringat RT/RW di Jakarta. Beberapa bulan lalu sebelum lebaran saya bertemu kenalan yang kebetulan menjadi pengurus RT di Jakarta. Kata dia mengenai masalah lingkungan: “Kita tinggal lapor ke Qlue, pasukan oranye nanti akan datang!” Kalau ingat itu semua, saya tak habis pikir jika ada pengurus lingkungan di DKI yang memprotes dan menolak pelaporan via Qlue. Lha, bukankah itu memudahkan? Saya tidak perlu bertele-tele: lapor ke A, ke B, ke C, dan hasilnya tetap sama. Ibarat jaringan komputer, di layar tertulis "limitedor no connectivity"!  Nah, Qlue menghilangkan itu semua.

Salah satu anggota forum RT/RW (seorang ibu-ibu kalau tak salah) yang protes mengatakan: Qlue menghilangkan sifat gotong royong warga mengurus lingkungan. Warga jadi cengeng: sedikit-sedikit lapor, lapor kok hanya sedikit-sedikit!

Saya kurang tahu, berapa lama ibu tersebut menjadi pengurus lingkungan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sepanjang pengalaman saya jadi pengurus, hanya segelintir warga datang bila undangannya bertajuk “gotong royong” beneran. Kecuali, undangannya bertajuk gotong royong pencitraan – yang kita lakukan sebenarnya jalan pagi, senam sehat, atau ajang silaturahim lainnya. Gotong royongnya hanya sedikit! Guyonnya banyak. Itu pun biasanya yang hadir ya itu-itu saja! Jadi saya tidak pernah bisa membayangkan jika kita mengandalkan “gotong royong” untuk kebersihan di lingkungan pemukiman kota. Yang terjadi mungkin sebaliknya. Ayo bergotong royong sama-sama membangun kejorokan: numpuk sampah di tanah kosong, di sungai, di selokan ... 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline