Lihat ke Halaman Asli

#PakRWmikir: Silaturahim Digital

Diperbarui: 12 September 2016   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Lebih dari sebulan lalu setelah lebaran, saya bertemu dengan senior yang saya hormati usai salat Jumat di Masjid Raya Cinere, Depok.

Kami berbincang dan sepakat pada kesimpulan yang sama: saat ini tampaknya kita mengalami pengkotakan, segregrasi, yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah republik.

Belum pernah kita mengalami masa-masaseperti ini: pengkotakan keyakinan, mahzab keagamaan, pandangan politik, yang sedemikian masif. Terutama jika kita melihat pesan sosial berantai yang beredar di media sosial, komentar-komentar digrup maupun pemberitaan media online. Kadang debat dan pesan yang beredar sedemkian panas, dan saya, seperti biasa memilih menjadi “silent majority” – mayoritas yang memilih diam.

Pulang dari Jumatan saya tercenung. 

Ingatan saya langsung kembali ke masa1990-an – masa-masa awal ketika dunia digital, internet segala bentuk subkulturnya, termasuk media sosial yang populer belakangan ini, mulai terbentuk. Kebanyakan ahli pada masa itu, sekalipun dengan sedikit was was, dihantui optimisme bahwa dunia baru itu, entahlah apa namanya, akan mendorong lahirnya wilayah virtual demokratis yang mengesampingkan batasan-batasan: bangsa, ras, agama, kelompok ....

Pendeknya, di tengah perang ideolog idan ketimpangan sosial-ekonomi pada masa itu, dunia baru yang maya ini bisa berperan menghilangkan “gap” – membentuk suatu borderless society yang demokratis. 

Ketika kita memasuki sebuah situs web,sulit bagi kita untuk mengetahui siapa yang “masuk” dan “datang”– sukunya apa, bangsanya mana, ideologinya apa .... Berbeda di dunia nyata, secara kasat mata kita bisa melihat siapa berkumpul dengan siapa, siapa berbicara dengan siapa, siapa berguru dengan siapa. Sepertinya, internet telah meniadakan pagar dan batas.

Akan tetapi tengoklah apa yang terjadi belakangan ini. Membuat sebuah situs makin mudah dan murah. Makin banyak situs-situs yang spesifik dibuat dan ditujukan dengan target sosial demografik atau ideologi tertentu. Situs yang beraliran mahzab agama atau politik tertentu cenderung akan dibaca dan didatangi secara berulang oleh orang dengan mahzab dan politik yang sama. 

Sebuah artikel di The Atlantic, mengutip riset gurubesar media dan komunikasi Universitas New York, Charlton McIlwain, memaparkan bahwa lalu lintas di internet tak ubahnya seperti ruang segregasi (pemisahan) demografik di dunia nyata. 

Ketika McIlwain mencoba menganalisasekitar 3000 situs dan melihat bagaimana suatu situs terhubung ke situs lainnya, dia menemukan bahwa suatu situs tertentu cenderung terhubung situs lain yang mirip-mirip. Sementara para peselancar web juga memiliki kecenderungan sama: jika Anda menyukai situs tertentu yang memuat preferensi ras atau kelompok tertentu, maka Anda pun akan mengunjungi situs lain yang memiliki bias yang sama. 

Dunia digital memang tidak membuat pagar dan batas – siapapun boleh berkunjung ke sana. Bahkan tersedia jalan tol mulus untuk masuk. Tetapi pesan-pesan tertentu atau cara penyampaiannya secara halus atau tidak sengaja telah mendorong seseorang untuk melakukan pilihan:  “Ah, itu bukan untuk kita.” “Ah, yang ini untuk saya.” 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline