Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Suara yang Memekakkan Telinga

Diperbarui: 6 Oktober 2019   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

E-Cell | IIT Kanpur


Kau pernah berkata, sangat mudah bagimu semudah memindahkan kerikil. Dengan setitik tinta warna putih bisa jadi merah seketika. Satu kata dalam sekejap menjadi kalimat kemudian tersusun rapi berparagraf-paragraf.

Koneksimu luas, pengalaman dan pengetahuan membuatku yakin. Itulah mengapa hingga saat ini kedua tanganku masih menggenggam ujung jarimu. Kemudian apa yang terjadi?

Tak ada apa-apa. Semua berjalan seperti biasa. Seolah tak terjadi sesuatu. Atau kau sedang pura-pura lupa. Hingga kekhawatiran memuncak dengan sendirinya.

Suara itu mengiang dalam kepala. Tenang semua bisa diselesaikan. Tunggu saja waktunya akan tiba. Mana! Janji hanya tinggal janji. Kata terucap, hanya kata terucap. Kalimat panjang hanya enak untuk dibacakan. Maknanya sama saja. Kau tak kuasa berbuat apa-apa.

Seperti aku di sini. Hanya mampu berpikir sendiri. Tak kuasa mengubah keadaan sama sekali. Kertas putih ini sudah merah tak kuasa ditulisi lagi. Aku hanya menanti keajaiban datang. Atas belas kasihan. Dan samar-samar suaramu perlahan hilang.

(Sungai Limas, 6 September 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline