Lihat ke Halaman Asli

Hadiah Cakrawala

Diperbarui: 6 Oktober 2019   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Pixabay.com

Tembang tetap dinyanyikan. Sesumbang telinga mendengarkan. Terpaksa ia pasang telinga. Terjaga. Tidur pun tak ada guna. Senandung malam perlahan hilang dari pendengaran.

Ia tetap kesepian. Biasanya beberapa orang akan datang. Bercerita tentang panen bayam yang tinggal batangnya. Banyak ulat merubung daunnya. Tentang ketela bongkeng, sisa jangkrik memakan umbinya. Ditemani secangkir kopi pahit. Malam berlalu.

Cerita kesedihan hilang. Masihkah ada kesedihan di hatimu, Kawan? Padahal banyak ikan memananti di hulu sungai. Mencari lobang di sela batu melepas telurnya. Seperti gemeratak daun bambu yang jatuh tertiup badai. Jadi nyanyian cinta indjng pada telurnya.

Jangan berduka lagi, Kawan. Lihatlah di sana, ada kota-kota dengan gedung pencakar langitnya. Dengan dingin AC ruangnya. Sejenak kita bisa tidur melepas penat. Tak mengapa setelahnya diusir oleh satpam. Wajar jika orang desa tempatnya beda.

Lupakan kekuasaan. Lupakan sulitnya cari makan. Lupakan asap dan debu beterbangan. Lupakan hitam pekatnya air sungai.

Lihatlah cakrawala, di sana masih ada cahaya jingga. Untuk kita. Iya, benar untuk kita. Bukan untuk mereka. Hanya untuk kita.

Mengapa? Karena kita sempat melihat mereka. Itulah tanda terimakasih yang diberikan sebagai hadiah tak seberapa.

(Sungai Limas, 6 Oktober 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline