Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Aku Selalu Melihatmu

Diperbarui: 5 Agustus 2019   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay

Aku melihatmu seperti anak ayam kehilangan induknya, teriak-teriak kelaparan. Meninggalkan jejak sekehendak hatinya. Kotori pelataran yang ditemui.

Aku melihatmu seperti induk ayam. Mengeram  sebiji teriak-teriak seperti dunia milikmu sendiri. Berkokok tak henti-henti. Taukah kamu, telur itu busuk. Berbau menyebar kamana-mana. Itu pun kau bilang pada semua tetangga. Telurmu nikmat rasanya.

Aku melihatmu seperti kera. Tangan kanan pisang setandan kau genggam. Tangan kiri masih tengadah ke sana kemari. Mulutmu teriak, hartamu paling banyak. Sekolahmu sarjana lipat empat.

Aku melihatmu seperti ular. Kau lilit orang-orang uang mendekat. Kau patuk dengan bisa mematikan. Katamu, kaulah sang ilmuwan. Punya banyak jaringan dan keahlian. Aku melihatmu sebagai pahlawan kesiangan.

Aku melihatmu seperti kaos kaki, terpakai seharian. Berbau tak sedap dan memyedihkan. Kau tetap berkata, sepatumu paling mahal harganya.

Biarlah aku hanya melihatmu. Setelah pelataranku kau injak-injak. Aku hanya diam, ketika tandanan terakhir pisangku juga kau genggam. Aku juga hanya pasrah manakala kaos kaki itu kau lempar ke wajahku.

Ingatlah, aku adalah bakung. Mampu tumbuh di mana saja. Pupukku adalah kotoran ayam. Telingaku adalah semilir angin di sela pepohonan.  Dan kaos kaki itu. Biarlah jadi milikmu selamanya. Aku tak akan memintanya. Jadi jangan takut aku ada.

(Sungai Limas, 5 Agustus 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline