Lihat ke Halaman Asli

Puisi | Takjil dan Jilbab

Diperbarui: 7 Mei 2019   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika.co.id

Menyeka keringat dengan jilbab, gendongan bayi di bahu kanan
Bakul penuh takjil ditenteng ringkih
Di pinggir-pinggir jalan
Dan lapak kaki lima dadakan
Seirama dengan kelap kelip lampu merah perempatan jalan

Bayi kehausan dalam gendongan menangis, jika mampu berkata;

Ibu, rehat dulu sebentar

Buka puasa masih lama, tak ada yang makan takjil sekarang

Aku haus minta disusukan segera

Pedagang asongan, Pedagang kaki lima
Mereka datang berebut lapak dipinggir jalan
Di depan pertokoan
Bersaing dengan tibanya senja
Takjil masih pada tempatnya
Bagaimana bisa?

Harap-harap cemas,
Mendung tiba, tampak dari kejauhan
Sebentar lagi gelap disusul hujan dan petir bersahutan
Yang terbangkan lapak-lapak takjil sore ini

Jika mungkin takjil dijual esok sore
Tak segelap bayangan hari ini
Kumandang azan adalah ancaman
Bagaimana bisa?

Semua berharap azan segera tiba
Tidak halnya dengan ibu pembawa gendongan bayi
Tetap saja, harapan dan doa adalah waktu berhenti sekedar takjil terjual segera
Bagaimana bisa?

Sederhana,
Sesederhana menyeka keringat dengan jilbab di dada
Bagaimana bisa?

(Sungai Limas, 7 Mei 2019)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline