Lihat ke Halaman Asli

Surat yang Ditawan

Diperbarui: 2 April 2019   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pexels.com

Di sudut pagi coba kukatakan. Pada wangi melati coba kutitip pesan. Bersama hembusan angin coba kubisikkan. Pada rerumputan ilalang coba kusampaikan, sepucuk surat perdana dalam goresan.

Setiap saat ingin kukatakan, pada nurani yang katanya menawan. Coba mengais butiran asa di dalam tangisan, lalu untuk apa ia dipertahankan? Semua hanya akan menguras segenap pikiran.

Sukma ini brontak keras, dan ingin melawan arus. Ternyata tak berdaya biar hati pedih tergerus. Keangkuhannya tak mampu meluruhkan hasrat meski terhempas.

Rasa ini tak bisa lepas, walau lisannya berujar menyengat pedas. Hati ini terlalu lunak untuk memaafkan, meski matanya tiada pernah menoleh penuh perasaan. Sesak batin itu tetap dirasakan dan tak terkatakan.

Lisan ingin jujur mengatakan, namun selalu tertahan. Hanya lewat surat semoga terkatakan, segala rasa dalam luapan. Sayang, tirani datang merajam tajam. Surat ditawan, mengoyak masa silam. Hingga kini tinggal kenangan.

(Sungai Limas, 1 April 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline