Lihat ke Halaman Asli

Secarik Kertas

Diperbarui: 14 Februari 2019   09:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesak menyelimuti palung hati, manakala kuraih secarik kertas dari tangan lemahnya. Degup jantungku berkejaran terengah menerima.

Secarik kertas dia serahkan di ujung hidupnya. Bergetar dan tertiup angin desah nafasnya. Perlahan ruang matanya menyempit, di ujung bibir berucap kalimat penutup.

Cairan bening hangat menjalar dari sudut mataku, kulepas kepergiannya dengan iringan do'a. Secarik kertas menjadi saksi bisu.

Tepat satu tahun kepergiannya, kubuka kembali lipatan kertas putih bertuliskan tinta pudar. Mencurahkan segenap nuansa hatinya, ada hilang kata di ujung paragraf. Tinta hitam terpendar ke segala penjuru.

Kueja pelan di setiap abjad, tersusun rapi di segala rupa. Memaknai tiap perjumpaan kita hingga menyusup syahdu ke rongga jiwa.

Setiap kalimat tertutur manis, bait demi bait selaksa asa. Mengantarkan kisah ke penghujung musim hujan silam. Tertulis jelas di secarik kertas lusuh

Aduhai, mataku berbayang pandangi abjad. Cerita dirinya di masa silam, dan pesan wasiat buat putra kami. Tak sanggup lagi mataku menyusuri setiap kalimat.

Selalu terbayang di ruang mata, di ujung hari imamku meregang nyawa. Bayangannya selalu datang menjelma berikan isyarat cinta takkan pudar.

Imamku pulang di tengah lara. Mataku berkaca, basahi secarik kertas.

(Sungai Limas, 14 Februari 2019)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline