Oleh: Eko Windarto
Ketika Semar memosting tulisan "Seorang pemimpin besar adalah pemimpin yang memperhatikan petani...!"
Dalam postingan tersebut, Petruk berkomentar "Selain petani juga menghargai penyairnya lho bung Semar, terutama yang kritis dan produktif seperti anda, kalo petani ada lembaga pertaniannya, lha klo penyair belum ada lembaga kepenyairan je...pokoknya jian rekoso tenan mahkluk hidup yang bernama penyair di kota wisata yang shining
ini."
"Semar menjawab dengan rendah hati, "Betul mas. Rekoso tur kroso."
"Kalau tidak mau ikut arus mainstream dan tidak mau ikut dipemERsatukan, silahkan mojok di sudut sudut sepi...yang tidak bERsatu dilarang masuk dan tidak boleh banyak bacot... diam diam saja bersyair tentang anggur dan rembulan," sambung Petruk setengah mengejek.
" Ada tidaknya pemERsatu atawa bersatu, bacot tetap harus diisi dengan makanan bergizi tinggi walau tanpa minum anggur kelezatan sesaat," tegas Semar.
"Mata Tuhan ada di mana-mana termasuk dalam diri kita. Jangan lupa itu, Kang mas Petruk!" lanjut Petruk tajam.
Semar sebagai penyair yang masuk dalam tatanan atau statra rakyat biasa tidak butuh pemersatu atau apapun namanya. Yang ia butuhkan adalah hakekat kebersamaan dalam laku. Mengapa ia katakan demikian: pertama, ia belajar mengamalkan bismillah (Kasih sayang). Kedua: belajar menerima apa adanya dalam keihklasan. Yang mana mengamalkan bismillah (Kasih sayang) dalam laku ikhlas yang coba ia capai luput dari kebanyakan orang. Termasuk mungkin bung Petruk. Namun demikian itu semua sesuatu hal yang manusiawi dan lumrah.
Makanya Semar selalu membaca diri sendiri, karena membaca adalah jendela dunia.