Lihat ke Halaman Asli

Eko Windarto

Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023

Syair Tanpo Waton dan Gus Dur dalam Falsafah Fenomenologi Jawa

Diperbarui: 31 Maret 2024   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Eko Windarto

Syair Tanpo Waton yang dinyanyikan Gus Dur merupakan salah satu karya sastra Jawa yang dianggap sangat penting. Syair ini ditulis oleh .H. Moh. Nizam As-Shofa yang diviralkan mantan presiden keempat Indonesia, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pada tahun 1999. Gus Dur dikenal sebagai salah satu tokoh spiritual dan intelektual yang memiliki pemikiran yang luas dan inklusif. Dalam syair ini, Gus Dur serasa menggabungkan filsafat fenomenologi dan ajaran-ajaran Jawa, yang menggambarkan keseluruhan pandangan hidup.

Fenomenologi adalah teori filsafat yang menyelidiki fenomena dan bentuk-bentuk kesadaran objektif yang hadir dalam persepsi manusia. Ada tujuh prinsip dasar dari fenomenologi yang meliputi subyek, kaitan, bentuk, kesiapan, kontradiksi, ketidakpastian, dan tidak sempurna. Dalam Syair Tanpo Waton yang bawakan Gus Dur, prinsip-prinsip seperti di atas dapat ditemukan dalam hampir setiap baris.

Gus Dur melihat bahwa keberadaan manusia di dunia diartikan sebagai pengalaman subyektif yang dia miliki. Kemudian, dia mempertanyakan apa yang dihadapinya, bersama dengan segala fenomena yang muncul di sekitarnya, meliputi pikiran, ide, perasaan, dan emosi. Ia juga menyoroti bahwa segala hal dalam hidup, baik yang nyata maupun abstrak, muncul dalam bentuk yang bersifat relatif, dalam hubungannya dengan persepsi subjektif.

Di sisi lain, Gus Dur juga menggambarkan tentang ajaran-ajaran Jawa yang meliputi gagasan tentang keberadaan, makna, dan eksistensi. Salah satu prinsip dasar dalam ajaran Jawa adalah bahwa setiap hal dalam kehidupan manusia memiliki makna dan berkaitan dengan pengalaman itu sendiri.

Dalam Syair Tanpo Waton, Gus Dur juga menekankan bahwa semua kebijaksanaan, kearifan, dan pandangan yang ditemukan dalam tradisi Jawa harus diperhatikan dan dihargai dengan baik. Pemikiran fenomenologi Jawa tentang manusia dan alam juga menunjukkan bahwa makna keberadaan manusia memiliki keterkaitan dengan lingkungan dan alam.

Gus Dur menekankan bahwa fenomena alam dan kehidupan manusia semua terkait dan ada dalam keterkaitan yang erat, dan bahwa manusia harus mencoba untuk memahami dan menghargai hubungan ini secara lebih mendalam. Oleh karena itu, Gus Dur menganjurkan perluasan pemahaman, yang membutuhkan pengalaman dan observasi yang tinggi dalam memahami makna kehidupan manusia dan alam.

Dalam penggambarannya tentang fenomenologi, Gus Dur juga menunjukkan pentingnya memberikan perhatian pada kehidupan sehari-hari, sikap dan perilaku manusia, serta memperhatikan pendapat orang lain. Dalam pandangan Gus Dur, itu adalah salah satu cara terbaik untuk memahami fenomena yang kompleks dan mengerti secara seksama arti dari setiap pengalaman manusia.

Secara keseluruhan, Gus Dur menunjukkan bahwa di lubuk hati setiap orang ada ketakutan akan ketidakpastian, ketidakmampuan untuk memahami dunia sebagai keseluruhan, dan ketakutan tentang apa yang terjadi setelah kematian. Dalam Syiran Tanpo Waton yang ditulis oleh H. Moh. Nizam As-shofa, Gus Dur menyatakan bahwa kehadiran manusia dalam dunia didefinisikan oleh pengalaman subyektif dan penentuan makna yang unik, yang dapat dipahami dengan memahami prinsip-prinsip fenomenologi dan ajaran-ajaran Jawa secara bersamaan.

Syair yang dikenal sebagai "Syair Tanpo Waton" (Syair Tanpa Waktu), merupakan karya sastra yang diviralkan Gus Dur, mantan Presiden Indonesia yang dikenal sebagai sosok yang cerdas, intelektual, dan penuh perhatian terhadap masalah keagamaan serta kemanusiaan. Syair itu menarik perhatian banyak orang karena dianggap mewakili filosofi kehidupan Gus Dur dan merupakan ungkapan kritisnya atas berbagai persoalan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

Syair H. Moh. Nizam As-Shofa ditulis pada tahun 1999, beberapa bulan setelah Gus Dur gagal mempertahankan jabatannya sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan menyusul pada beberapa bulan sesudahnya ia terpaksa mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Syair ini kemudian dipublikasikan melalui majalah koran bernama "Tempinah" pada bulan Desember tahun 1999.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline