Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Harus Takut?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa kita harus takut pada sesuatu hal yang belum terjadi, yang sebenarnya jika kita mau berusaha terlebih dahulu maka hasilnya akan lebih baik? Mengapa harus menakutkan hasil buruk yang bisa diupayakan kebaikannya? Mengapa harus menyerah di awal? Jika sama-sama persoalan membayangkan hasil, mengapa kita tidak membayangkan yang baik saja? Minimal, perkiraan hasil baik lebih mendominasi pikiran daripada ketakutan akan kegagalan. Atau minimal jika nanti hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, setidaknya kita “gagal” dengan terhormat. Gagal setelah segala daya habis dibanding gagal karena tidak mau sedikitpun berkorban. Mana bisa kita tahu seberapa besar kemampuan kita jika kita tidak menunjukkannya?

Well, saya pernah berkata bahwa menasihati diri sendiri memang tak sesulit menasihati orang lain. Bukan sulit, tapi sangat sulit. Suliiit sekaliii. Tanya kenapa? Karena kita (diri saya :p) masih sering mementingkan ego. Masih suka memelihara kemalasan padahal tahu bahwa itu tidak ada gunanya. Masih sering merawat kegalauan yang tidak produktif. Masih memilih menghabiskan waktu dengan sesuatu yang sia-sia. Masih bertahan dengan cara-cara lama yang hanya akan mendatangkan hasil yang sama dengan sebelumnya, padahal kita menginginkan hasil yang berbeda. Bagaimana bisa mendapat hasil yang beda jika caranya masih sama? Bagaimana mendapat hasil yang lebih baik jika tidak ada perubahan yang lebih baik juga dalam proses pencapaiannya?

Inti dari semua ini adalah...

Kita sudah tahu apa yang sebenarnya harus kita lakukan, tapi kita enggan untuk melakukannya. Kita malas. Kita egois. Kita membiarkan diri larut dalam keadaan yang sebenarnya juga tak kita harapkan. Lalu mengapa kita bertahan dalam keadaan itu? Ah, mungkin setan masih suka dengan kebiasaan-kebiasaan kita. Ia masih belum rela jika kita move on. Jadi, yang salah setannya dong? Ah, jangan cari pembenaran :P.

Berapa kali kita terjerat dalam suatu permasalahan yang sebenarnya itu karena kita terlalu mendramatisasi keadaan? Menciptakan keadaan bahwa kita terlahir sebagai ‘korban’. Berapa banyak lagu galau yang turut mendukung dalam keadaan itu? Saat seseorang membutuhkan penguat dalam keadaan down-nya, ia malah mencari pembenaran dari kesedihan yang dialaminya. Seolah-olah hal ini untuk mengiyakan bahwa ia pantas dikasihani, karena (anggapan) ia memang manjadi korban dari keadaan. Mungkin tidak masalah jika ia mau menangis atau sekadar ‘memaknai’ keadaan itu, namun mau sampai kapan membiarkan diri terpuruk? Kapan mau melangkah? Bukankah masa depan masih menjanjikan keceriaan hidup yang indah dan penuh senyum? Ya, ini hanya masalah waktu. Mau sepanjang apa kita mengulur waktu untuk lepas dari sebuah keadaan menuju keadaan lainnya. Ya, kan?

Atau kemungkinan yang kedua, kita sudah tahu apa yang sebenarnya harus kita lakukan, tapi kita enggan untuk melakukannya karena kita tidak percaya pada kemampuan diri. Well, kita adalah makhluk yang paling sempurna dengan segala kelengkapannya. Meskipun dalam satu atau dua hal kita melihat ‘kecacatan’ pada diri sendiri. Percayai saja, Tuhan tidak pernah salah dalam penciptaan-Nya. Perhitungan-Nya tidak pernah salah sedikitpun. Masih ada kesempatan untuk belajar. Masih banyak cara untuk memaknai hidup ini. Bukankah kita adalah apa yang kita pikirkan? Bukankah Tuhan selalu mengikuti persangkaan hamba-Nya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline