Oleh: Eko Windarto
Reuni Akbar Persaudaraan Alumni (PA) 212 di Monas telah menjadi topik kontroversial di Indonesia hari ini 2/12/2024.
Saat pemerintah setempat mempertimbangkan memberikan izin untuk acara tersebut, banyak pihak menentang keputusan tersebut dengan alasan potensi polarisasi politik, munculnya politik identitas yang merusak kerukunan antar umat beragama, serta khawatir akan menjadi ajang bagi kelompok radikal.
Dalam konteks ini, penolakan terhadap reuni PA 212 di Monas menjadi sebuah pernyataan tentang pentingnya menjaga toleransi, kerukunan, dan keamanan dalam berbangsa dan bernegara.
Polaritas Politik dan Politik Identitas
Reuni Akbar PA 212 seringkali dianggap sebagai momentum politik oleh pihak-pihak yang mendukungnya.
Para pemanggul agenda politik tertentu dapat memanfaatkan acara ini untuk memperkuat basis dukungan politiknya. Hal ini berpotensi memperkuat polarisasi politik yang saat ini sudah sangat terasa di Indonesia. Ketegangan antar kelompok politik dengan pandangan yang berbeda dapat semakin memperlebar jurang pemisah di masyarakat.
Di samping itu, reuni PA 212 juga bisa menjadi panggung bagi politik identitas. Penggunaan identitas keagamaan sebagai alat untuk memperoleh dukungan politik dapat memicu gesekan antar kelompok dan berpotensi merusak harmoni yang telah dibangun selama ini. Hal ini sangat perlu diwaspadai mengingat Indonesia adalah negara dengan beragam suku, agama, dan budaya.
Ancaman Radikalisme dan Terorisme
Selain potensi polarisasi politik dan politik identitas, penolakan terhadap reuni PA 212 di Monas juga didorong oleh kekhawatiran akan munculnya gerakan radikalisme yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.