Lihat ke Halaman Asli

Guyonan Pemuka Agama, Indonesia Darurat Bullying

Diperbarui: 5 Desember 2024   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Literasi emosional bukan hanya soal tentang memahami diri sendiri, namun juga tentang memahami orang lain. (Sumber Instagram)

Baru-baru ini kita melihat diberbagai media sosial seorang tokoh agama yang sedang ceramah, tiba-tiba membully pedagang kaki lima dengan perkataan kasar. Selayaknya seorang tokoh agama, atau yang biasa akrab dengan panggilan kiayi, ustadz, ataupun gus mampu memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.

Bagi masyarakat Indonesia, tokoh agama merupakan salah satu idola dalam kehidupan peribadatan mereka. Banyak masyarakat Indonesia memakan “mentah-mentah” apa yang pemuka agama katakan. 

Sepertinya ucapan yang keluar dari tokoh agama adalah perkataan “Tuhan” yang selalu mereka turuti. Oleh sebab itu kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia harus bisa menahan diri dari berkata-kata tidak baik.

Peristiwa guyonan pemuka agama bukan sekedar kata-kata yang melukai, tetapi cerminan budaya bangsa kita yang masih menormalisasi perilaku merendahkan orang lain. Moment pengajian yang seharusnya moment untuk berbagi ilmu justru berubah menjadi pertunjukan panggung penghinaan. 

Ternyata tokoh agama tersebut merupakan pejabat negara yaitu sebagai utusan khusus Presiden bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan.

Seharusnya Presiden sebagai pimpinan negara dan juga pimpinan tokoh agama yang telah menghina rakyat kecil itu harus memberikan punishment terhadap perilaku anak buahnya yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi sikap toleransi dan saling menghargai. 

Bukan hanya kali ini saja, tenyata tokoh agama tersebut sebelumnya juga telah mencontohkan perbuatan tidak baik dihadapan public yaitu menggoyang-goyangkan kepala istrinya.

Dalam rekaman yang beredar di media sosial, penghina orang itu dengan lantang melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Sontak, gelak tawa pun pecah dari rekan di sebelahnya hingga jamaah yang lain ikut tertawa terbahak-bahak. 

Di balik senyuman bapak penjual air itu tersirat luka yang mendalam, ibarat kata seorang diri ditelanjangi dihadapan orang banyak. Namun sikap yang diberikan oleh bapak penjual air itu hanya senyuman dan diam seribu bahasa.

Fenomena seorang tokoh agama yang kita sebut sebagai gus bukan hal yang baru. Candaan yang berujung pembullyan seringkali dianggap biasa, apalagi yang berbicara adalah tokoh agama terkenal. Padahal candaan yang menyerempet kepada pembullyan merupakan sikap mengkerdilkan terhadap seseorang dan juga menyakitkan hati orang lain. Inilah yang harus kita sadari, bahwa perkataan yang tidak sesuai dengan tata bahasa akan menghasilkan hinaan.

Apa yang terjadi dalam kejadian tersebut, memperlihatkan kepada kita semua sisi gelap dari budaya masyarakat. Ketika orang lain ikut tertawa dengan candaan sang gus tersebut, sejatinya kelompok orang yang tertawa tersebut tanpa sadar telah menjadi bagian dari lingkaran bullying. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline