Lihat ke Halaman Asli

Konsep Diri

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam sejarah kehidupan manusia, setiap orang terus berusaha untuk mencari dan mengenali dirinya dengan lebih baik. Bahkan berabad-abad lalu mereka telah meyakini bahwa hal paling fundamental dalam menentukan kualitas perilaku adalah mengenal dirinya sendiri dengan baik.

Sebuah survey menemukan bahwa rata-rata manusia masih menggunakan 0,01 % dari kemampuannya, artinya masih terdapat potensi 99,99 % yang belum termanfaatkan dengan baik (Joice Wycoff, Mind Maping, 1991). Dengan kata lain mungkin kita pun masih mengggunakan sedikit dari sekian banyak potensi diri kita.

Rasa kurang percaya diri atau sebaliknya rasa puas diri adalah salah satu syndrome yang banyak diidap oleh para pecundang. Mereka tidak lagi mempunyai sasaran untuk dicapai dan terjebak dalam rutinitas kerjanya.

Sumber yang mendasar dari kurangnnya rasa percaya diri, salah satunya disebabkan oleh trauma-trauma masa lalu karena keselahan dan kegagalan dalam perjalanan hidupnmya yang dilengkapi dengan cemoohan dari lingkungannya. Misalnya hampir 80 % lebih peserta pelatihan Effective Speaking And Human Relations takut berbicara di depan publik, karena pernah melakukannnya, kemudian gagal dan mendapat cemoohan dari pendengarnya.

Untuk itu kita perlu meninjau kembali sikap kita terhadap diri sendiri. Sikap yang kita punyai sangat tergantung dari keyakinan kita terhadap seperangkat konsep, keyakinan, dan nilai-nilai yang kita terima sepanjang perjalanan hidup kita. Di dalam pikiran bawah sadar kita hal-hal di atas tersimpan dalam bentuk-bentuk sekumpulan pengalaman-pengalaman yang tersimpan di bawah sadar.

Ketika seseorang akan mengambil keputusan di luar kebiasaannya, maka dia akan melihat kumpulan pengalaman masa lalunya. Apabila dia menemukan hal-hal yang positif yaitu keberhasilan, penghargaan, maka dia akan cenderung berani mengambil resiko. Sebaliknya bila yang dijumpai pengalaman negatif maka cenderung akan ragu-ragu. Misalnya bento sebagai supervisor sukses di sebuah cabang diminta atasannya untuk menangani permsalahan konflik antar karyawan di cabang lain di departemen yang sama, begitu mendapat tawaran bento akan melihat kembali kumpulan pengalamannnya selama ini. Apbila dia pernah mempunyai pengalaman keberhasilan tentang hal itu, maka bento akan cenderung berani menerima tugas baru tersebut, sebaliknya bila bento pernah mempunyai pengalaman negatif mengenai masalah ini maka dia akan berpikir dua kali dan cenderung menhindar dari tanggung jawab ini.

Untuk itu sebagai langkah awal kita perlu melihat seberapa banyak kumpulan pengalaman yang tergolong positif dan seberapa banyak yang negatif, karena hal ini akan berpengaruh kepada tingkat kepercayaan diri kita di masa mendatang. Langkah berikutnya adalah merubah cara pandang kita terhadap “file-file” pengalaman negatif yang kita miliki. Sebuah kata-kata bijak mengungkapkan bahwa “Bukanlah kejadian itu sendiri yang akan mempengaruhi perilaku seseorang tetapi sikap seseorang terhadap kejadian itu”. Artinya kita diberi wewenang penuh untuk menggolongkan apakah pengalaman itu termasuk negatif atau positif.

(dirangkum dari berbagai sumber)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline