Lihat ke Halaman Asli

Eko S Nurcahyadi

Penulis, Pegiat Literasi, aktivis GP Ansor

Laskar Pelangi: antara Ketulusan, Kesetiakawanan, dan Perubahan Radikal

Diperbarui: 9 Mei 2020   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok khalidmustafa.info

Ada beberapa judul film nasional bertema solidaritas atau kesetiakawanan yang bagus untuk ditonton. Salah satunya yang berkesan buat saya adalah Laskar Pelangi. Film nasional yang diluncurkan pertama kali tahun 2008.

Biarpun film produksi dua belas tahun silam namun energi yang diusungnya tetap relevan dengan situasi saat ini hingga masa-masa mendatang. Solidaritas, ketulusan dan totalitas yang secara filmis ditawarkannya abadi sepanjang masa.

Sebagai produk sinema nasional Laskar Pelangi tampil memikat karena memotret dengan akurasi tinggi kemiskinan struktural di pulau Belitung.

Visualisasinya mengantarkan kembali imajinasi pemirsa pada setting dekade 70-an hingga dekade 80-an. Di mana struktur kemiskinan masyarakat Belitung tak lepas dari penguasaan lahan eksploitasi oleh PN Timah.

Hanya perlu dipahami bahwa produser dan sutradara tidak sedang bermain politik dengan film ini. Sehingga jangan berharap ada agitasi perjuangan kelas di sepanjang alur ceritanya. Baik pada dialog maupun dalam visualisasi tiap schene.

Quantum ikhlas

Riri Reza sebagai sutradara sangat kampiun memainkan komunikasi visual dalam misinya menyampaikan pesan menembus bahasa emosi pemirsa. Diperankan oleh aktris yang piawai bermain karakter, akting Cut Mini dalam menginternalisasi perwatakan Bu Mus atau Ibu Guru yang bersahaja (lebih tepatnya miskin) namun memiliki dedikasi total, penuh cinta dan keikhlasan.

Dok khalidmustafa.info

Sebagai satu-satunya sekolah dasar bernafas Islam di pulau itu SD Muhammadiyah Belitung yang pasti tertinggal dari sekolah-sekolah lain yang para wali muridnya sanggup membayar mahal. Sehingga para Bu Mus dan Pak Harfan Efendi atau kepala sekolah mendasarkan diri pada kekuatan ikhlas dan rasa cinta pada sekolah dan anak didiknya.

Momen ketulusan dan cinta Bu Mus terlukiskan secara sempurna ketika sekolah miskin fasilitas tersebut harus berhadapan dengan situasi dilematis. Ketika itu datang peringatan dari kantor Depdikbud (dinas pendidikan) setempat bahwa kelas baru tak bisa dibuka jika murid baru tak mencapai 10 orang.

Ketegangan pun terjadi pada detik-detik terakhir menunggu tiba murid kesepuluh. Dag dig dug degup jantung pemirsa turut terpacu seirama dengan peningkatan tensi emosional Bu Mus dan Pak Harfan karena hingga jarum jam menunjuk angka 11 baru 9 anak yang hadir mendaftar.

Hingga tiba waktunya dari kejauhan tampak seorang anak berlari menuju tempat dimana Bu Guru, Pak Kepala Sekolah beserta 9 orang murid baru lainnya. Situasi spontan jadi ambyar..plong! Hati riang, perasaan lega terpancar dari raut wajah semua insan dalam ruangan reot SD Muhammadiyah Belitung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline