Lihat ke Halaman Asli

Gowes ke Gn Handarusa via lembah sungai Ciberang, Sukajaya Bogor Barat

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Daerah di seputar Gn Halimun memang kaya dengan bebagai  relief pegunungan dengan aneka keteduhan rimbunnya hutan yang menaunginya. Tak ayal lagi daerah dengan topografi semacam ini akan banyak menyuguhkan jalur-jalur yang sangat menarik dan menantang untuk olah raga terutama sepeda gunung. Untuk itu pada kesempatan ini kami berniat untuk menjajal trek dari perkebunan sawit Pasirwalang di elevasi 500 m DPL menuju puncaknya di Cisarua pada elevas 1030 m DPL ,kemudian menuruni Taman Nasional Gunung Halimun menuju lembah sungai CIberang dan menuju Gn Handarusa . Trek ini berada di Kecamatan Sukajaya Bogor Barat yang berbatasan dengan  Kabupaten Lebak, Banten. Sebelumnya, pada tahun lalu kami juga pernah menyambangi daerah ini namun di area timur di lembah Sungai Cidurian, tepatnya ke Kampung Adat Urug di Kiarapandak, dan berbekal dari pengalaman tersebut kami melihat bahwa daerah ini selain indah dan sejuk udaranya juga masih sangat terasa kental aroma pedesaannya, jauh dari hiruk piruk perkotaan dan masih belum terjamah oleh gugusan vila-vila yang biasa tampak tersebar di tiap daerah pegunungan. Dengan mengambil start dari balai Desa Harkatjaya di Kecamatan Sukajaya Bogor Barat, kami memulai mengayuh sepeda sekitar pukul 8.30. Ada 12 peserta yang mengikuti trip kali ini. Perjalanan diawali dengan mendaki jalanan aspal yang lengang dan sejuk sejauh kurang lebih 3 km. Pelan-pelan kami mengayuh pedal , dan sampai kilometer kedua, tampak 3 orang bocah desa setempat yang mengikuti dengan sepedanya bahkan sempat beradu sprint di tanjakan,, sungguh prima fisik ketiga anak tersebut, mungkin karena setiap hari terbiasa bersepeda dengan kontur tanjakan membuat bersepeda di tanjakan bagi mereka sama dengan kita yang bersepeda di daerah yang datar. Meninggalkan desa Harkatjaya kami memasuki Desa Kiarapandak, beberapa petani yang terlihat sibuk di sawah yang berpetak dan berundak laksana tangga melambaikan tangan dan ramah menyapa. Tipe tanjakan jalanan aspal ini mengingatkan ketika bersepeda ke Curug Ngumpet di Gunung Bunder, namun di sini jauh lebih lengang dari lalu lalang kendaraan, tanjakan yang tidak memberikan jeda jalan datar membuat kami harus mengatur irama kayuhan agar konstan terjaga. Suguhan lukisan alam dan sejuknya hembusan angin menyambut di desa Kiarapandak  ini. Di kiri kanan terhampar perkebunan sawit yang baru  tumbuh sekitar 1.5 meter tingginya. Agak jauh ke arah bawah di sisi timur terlihat samar-samar Kampung Adat Urug yang terletak di lembah sungai Cidurian. Setelah sampai di Pasirwalang kami keluar dari jalan aspal dan memasuki kawasan oerkebunan sawit dengan jalanan bermakadam yang punggung batunya cukup besar untuk membuat sepeda terpelanting jika tangan tidak cukup kuat mencengkeram handle bar. Jalanan bermakadam yang tiada henti mendaki cukup membuat keping-keping keringat jatuh memercik di bebatuan, berpadu dengan desir angin yang menerpa daun kelapa sawit. Beberapa peserta tampak mulai menurunkan gigi RD ke posisi paling besar tatkala sudut kemiringan jalan semakin meninggi. Usai melewati perkebunan sawit, jalanan macadam pun berakhir dan berganti dengan jalanan setapak yang membelah ladang dan sawah, sempat kami berhenti  sejenak di sebuah dangau di tengah ladang untuk mengambil ancang-ancang ketika sebuah tanjakan terjal dan cukup panjang menghadang di depan mata., Dan satu demi satu kami pun berjuang dengan tetesan peluh yang semakin deras untuk menaklukkan tanjakan ini, gema teriakan para peserta untuk memotivasi diri masing-masing bergaung di sunyinya pegunungan. Setelah melewati tanjakan ini di depan kembali menghadang jalanan yang terbuat dari beton selebar 1.5 m yang seperti melilit di pinggang pegunungan ini untuk menuju atas. Namun hamparan pemandangan alam di kiri jalan tak kuasa untuk menahan sejenak perjalanan guna sekedar mengagumi  torehan indah tangan sang Maha Kuasa. Kali ini suara bukaan rana kamera yang terdengar bertubi-tubi untuk merekam segala keindahan bentangan alam ini. Tanjakan jalan beton ini terus mengular mendaki ke atas, meliuk di sela-sela pepohonan dan berakhir di sebuah kampung yang bernama Kp Wates. Ada sebuah warung kecil di sini, dan kami pun beristirahat melepas penat sambil menikmati teh manis panas untuk mengisi kalori yang terkuras. TIdak ada air minum dalam kemasan di warung ini, sehingga untuk mengisi waterbag yang kosong kami diberi air minum pemilik warung berupa air pegunungan yang telah dididihkan. Sekitar 20 menit beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan. Jalanan kini berupa jalanan setapak tanah dengan diawali sebuah tanjakan panjang untuk meninggalkan kampung Wates. Pelan-pelan, kayuhan demi kayuhan terus mendaki jalan setapak yang menjulang. Di sebuah persimpangan kami berbelok ke arah selatan, kali ini tujuan berikutnya adalah Kp. Ciberani Kidul. Jalanan sunyi senyap, hanya pepohonan rindang yang ada, tidak ada tampak suatu aktivitas manusia di sini, benar-benar sebuah area terpencil di pegunungan yang hening. Tanjakan demi tanjakan terus menemani sepanjang perjalanan, dan ketika hendak memasuki CIberani Kidul, rombongan sempat terpecah, 4 peserta yang dibelakang tidak terlihat hingga beberapa saat, ketika dihubungi dengan telepon pun tidak memungkinkan karena tidak satu pun operator selular yang memancarkan signal di sini,tak ayal lagi saya pun berbalik arah untuk mencari mereka. Bergidik juga ketika sendirian memasuki rimbunnya pepohonan sambil berteriak memanggil manggil nama mereka, hanya gema suara yang memantul dan bergaung. Hampir 10 menit menyusuri hutan sambil berteriak akhirnya saya dapat mendengar jawaban teriakan dari mereka. Namun ternyata sangat sulit menentukan dari arah mana suara itu berasal mengingat gema di keheningan membuat seolah suara itu datang dari berbagai penjuru arah. Akhirnya saya pun berhasil menemukan mereka, rupanya ketika kami berbelok ke kanan mereka berujar bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan bahwa rombongan sepeda berbelok ke kiri menuruni jalan setapak menuju sebuah sungai kecil. Kami pun kembali ke jalur yang seharusnya, dan ketika melihat waktu sudah pukul 11.45 kami pun memutuskan untuk makan siang di pinggir jalan macadam yang sejuk dan berada di ketinggian sehingga sambil menikmati bekal santap siang kami pun leluasa menikmati pemandangan nun di bawah sana ditemani dengan semilir angin yang tiada henti berhembus. Tenaga pun terasa pulih usai istirahat makan siang. Kami pun kembali beranjak mengayuh dan mendaki jalanan macadam menuju destinasi berikutnya , Desa Cisarua. Kali ini perjalanan memasuki kawasan hutan milik Perhutani di Taman Nasional Gunung Halimun, berbagai pohon tanaman keras terlihat tumbuh tegak menghijaukan area ini, mulai dari pohon puspa, akasia sampai pohon sengon. Setalah hamper 45 menit mendaki jalanan macadam , akhirnya sampailah kami di Desa Cisarua di puncak salah satu perbukitan Gunung Halimun dengan elevasi 1030 m DPL. Kembali kami berhenti sejenak untuk dapat mengambil foto di sekeliling yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Di persimpangan jalan macadam jika ke kiri menuju pusat desa Cisarua kami berbelok ke kanan ke arah barat meninggalkan jalan macadam dan mengikuti jalan beton yang menurun dan meliuk tajam menuju lembah Sungai Ciberang. Kami sempat berjumpa dengan beberapa warga desa yang mengingatkan untuk berhati-hati karena jalan yang menurun tajam ini sangat licin bekas diguyur hujan pada hari sebelumnnya. Jalanan yang menurun membelah kawasan hutan ini meliuk tajam membuat  kami sangat hati-hati karena dari gravitasi saja sepeda sudah meluncur dengan sangat deras, karena jarak pandang yang memadai kami dapat melepas tuas rem sehingga leluasa dalam menuruni jalan beton ini. Sempat kami berhenti sejenak untuk berfoto saat tiba di gerbang Taman Nasional Gn Halimun, namun usai ini turunan semakin menggila, kelokan maut dengan sisi kanan berupa hutan dan sisi kiri menampilkan jurang yang menganga lebar mebuat adrenalin kami berdesir kencang, sepeda meluncur kencang meski tuas rem ditekan hingga separuh saking tajamnya turunan. Pergulatan melawan turunan berakhir begitu kami melewati sebuah jembatan gantung di Sungai Ciberang memasuki Kp Leuwijamang. Sungguh curam karena di Leuwijamang ini elevasi menunjukkan 700 m DPL, berarti  kami turun 330 m dalam jarak 1.5 km. Jembatan gantung yang renta dimakan usia tampak rapuh ketika roda-roda sepeda menapak lantai papan yang juga mulai uzur membuat jembatan seolah terayun menahan beban. Satu per satu kami melewati jembatan gantung ini dan di seberang sana tampak warga Kp Leuwijamang berkerumun melihat kedatangan kami dan menyapa kehadiran kami. Sambil bertegur sapa dengan warga, kami tetap melanjutkan perjalanan dengan melintasi perkampungan yang sangat-sangat terpencil ini, jauh dari segala keramaian, dan sumbu penghubung untuk memasuki kampung ini hanya jembatan gantung tadi. Jalanan di Kp Leuwijamang ini kembali mendaki mengikuti jalan setapak dan kemudian menurun tajam untuk kembali melewati sebuah jembatan gantung untuk menuju tujuan berikutnya yakni Kp. Lebaksanab. Jalanan menuju Lebaksanab berupa jalanan setapak berbatu yang terhampar sejajar dengan Sungai Ciberang sehingga suara debur aliran  air yang membentur bebatuan terdengan sepanjang jalan ini. Setelah melewati tanjakan panjang, sampailah kami di Kp Lebaksanab, hanya anak-anak dan kaum wanita berkulit bersih yang nampak di kampung ini karena hampir seluruh kaum lelaki warga kampung ini bermatapencaharian sebagai gurandil alias penambang emas tradisional di kawasan kabupaten Lebak di kaki Gunung halimun. Di sini kami beristirahat dan shalat di sebuah satu-satunya mushola yang ada kampung ini, tidak ada warung di sini sehingga usai shalat kami pun bergegas meninggalkan Lebaksanab menuju Ciberani. Di sini nyali dan stamina benar-benar diuji. Tanjakan yang sangat panjang dan sangat curam terus menyertai di jalan setapak menuju Ciberani. Kesunyian dan kesejukan bahkan  gemericik beberapa air terjun kecil di sungai sepanjang jalur tidak kuasa untuk meluruhkan letih dan penat. Apalagi menjelang sampai di Ciberani, tanjakan yang berupa jalan setapak tanah berubah menjadi jalan macadam menjulang, sehingga semakin membuat otot paha meregang kuat bekerja keras untuk menaklukkan tanjakan ini. Dari elevasu 600 m DPL di Lebaksanab kami mendaki setinggi 300 meter untuk sampai di Ciberani dengan ketinggian 900 m DPL. Di Desa Ciberani aktivitas pedesaan terasa kental, serombongan anak yang berjalanan beriringan untuk berangkat mengaji tampak melambaikan tangan , di rumah-rumah penduduk tampak para wanita yang menyapu dan kaum lelaki yang berlengan kekar menebang pohon dan mengumpulkan kayu bakar. Maksud hati untuk mencari warung di Ciberani juga tidak kesampaian karena kami tidak menemukan warung yang menjual air minum, sehingga kami terus melanjutkan perjalanan menuju lereng Gunung Handarusa di desa Pasirmadang. Jalanan menuju Pasirmadang menurun landai dengan tekstur macadam sehingga kami pun harus pelan-pelan menuruninya, apalagi dengan stamina yang sudah mulai menurun dan persedian air minum yang hampir habis membuat kami menghemat tenaga. Salah seorang peserta, Yusuf bahkan mengalami kram di pergelangan tangan akibat terus menahan guncangan di turunan bermakadam ini, sehingga sempat berhenti sejenak untuk relaksasi dan mengoles cream pereda kram. Turunan landai bermakam ini akhirnya berhilir ke Desa Pasirmadang, ditandai dengan memasuki jalan aspal yang mulus. Desa Pasirmadang ini tampak hidup dengan berbagai kesibukannya, di sini kami beristirahat sambil menunggu teman yang masih di belakang. Di sebuah warung yang lengkap menyediakan minuman baik dingin maupun panas kami sejenak melepas lelah, mengisi air minum, menikmati kopi panas dan melahab buah-buahan yang tersedia.  Desa Pasirmadang berketinggian 800 m DPL dl lereng Gunung Handarusa, yang berbatasan dengan Kecamatan Lebakgedong, Lebak. Setelah semua peserta berkumpul dan letih pun sirna, kami melanjutkan perjalanan pulang ke titik finish, kali ini perjalanan benar-benar menurun mulus mengikuti jalan aspal yang tidak seberapa lebar. Tanpa kayuhan kami melesat menempuh jarak 4 km untuk menuruni jalanan beraspal yang meliuk di lereng Gunung Handarusa . Sekitar 20 menit kami menempuh turunan ini untuk sampai di Desa Parigi, namun seusai melewati jembatan Sungai Cidurian kembali kami harus berjuang keras dengan sisa-sisa stamina yang masih ada untuk mendaki sejauh 2 km menuju titik finish di Desa Harkatjaya. Akhirnya memasuki saat maghrib, kami pun menuntaskan perjalanan sejauh 32 km dengan rintangan tanjakan maupun turunan yang membekas dalam. Sebuah pengalaman bersepeda  menyusuri pegunungan dan pedesaan terpencil yang sangat menyenangkan untuk dapat berinteraksi dengan alam dan melihat langsung kehidupan pedesaan yang sangat menginspirasi bagaimana cara hidup damai berdampingan dengan alam yang masih utuh dan tidak dijamah tangan-tangan serakah manusia. Sampai jumpai di trip selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline