Lihat ke Halaman Asli

Eko Nurwahyudin

Pembelajar hidup

Dua Puluh Tujuh Kali Mengalami Sebelas Januari

Diperbarui: 17 Januari 2023   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pribadi: Jakarta, 1997

Dua Puluh Tujuh Kali Mengalami Sebelas Januari

Rasa syukur tentu saja tak terukur atas suatu umur. Segala puji bagi Sang Maha Abadi tepatnya pada sebelas Januari 2023 saya masih diperkenankan menghadapi hidup! Ya, menghadapi hidup artinya menghadapi penderitaan. Dan tepat sebelas Januari 2023 saya telah menghadapi penderitaan selama dua puluh tujuh tahun.

Tapi apalah arti penderitaan bila manusia tak bisa dirubuhkan? Barangkali memang manusia kerap lebih sering kalah daripada menang dalam sebuah pertarungan atau pertaruhan. Tapi bukankah kekalahan hanya kemenangan yang tertunda? Ya, saya masih percaya anggapan yang bagi saya benar itu dengan catatan mereka boleh kalah dalam ribuan pertarungan atau perteruhan tetapi mereka tidak boleh menyerah!

Begitulah yang saya pelajari dari Emak selama dua puluh tujuh tahun ini. Emak memang tak mengajari saya layaknya guru atau dosen di sekolahan. Emak yang tamatan sekolah dasar memang tak pintar omong. Emak lebih tinggi dari pintar, lebih tinggi dari bijak. Emak seorang yang mulia.

Tentu bagi saya, orang-orang yang sudah sampai ke level mulia tak butuh atau bahkan meminta manusia lain untuk belajar atau mempelajari ilmu atau pengetahuan darinya. Bagi saya orang yang sudah sampai level mulia seperti Emak itu ibarat mata air yang semua pejalan hidup butuhkan.

Ketidakmenyerahan Emak dalam menghadapi hidup itulah yang sudah saya pelajari bahkan sejak dalam kandungannya meskipun saat diri masih dalam bentuk janin yang belum berotak itu tidak tahu apa itu kosa kata perjuangan atau ketidakmenyerahan.Tapi saya mengamini salah satu hal yang sempat saya ingat dari paparan Ki Herman Sinung Janutama juga Romo Manu bahwa proses belajar manusia dalam alam pikir Jawa sudah dimulai sejak dalam kandungan. Barangkai memang yang menangkap bukan organ tubuh si janin seperti otak yang belum berbentuk tetapi menangkap pembelajaran itu ialah ruh. Ruh si janin memang tidak belajar kosa kata karena memang ia belum mengenal bahasa tetapi ruh belajar tentang "rasa"! Di dalam kemenyatuan tubuh itulah saya belajar banyak di rahim Emak.

Dari Emak Sampai Pandhita Wesi Kuning

Pagi, matahari sepenggalah saya bahkan lupa hari itu tiba. Lupa memang takdir manusia yang tiap detik semakin menua, pikirku. Saya yang kebetulan pulang kampung memang hanya tidur-tiduran di kamar membaca buku sesekali bermain game.

Emak masuk kamar saya. Belum sempat saya lihat wajahnya yang senang itu ia memeluk dan mencium sambil mengucapkan selamat -- mendoakan selamat. Tak ada kata lain yang keluar dari mulut saya selain amin. Hati saya detik itu dan saat menulis catatan ini pun masih tergetar ketika terngiang doanya yang kudengar.

Doa yang sungguh lazim seperti doa yang dibawakan kyai kampung ketika menjadi imam di Langgar. Doa yang sungguh rasional dan dasyat. "Selamat bertambah umur Le, semoga selamat, sukses dunia akhirat", ucap Emak.

Selamat dan sukses dunia akhirat! Selamat dan sukses dunia akhirat! Selamat dan sukses dunia akhirat!

Saya coba merenung-renung dimana letak kedasyatannya, dan beginilah kesimpulan saya: bukan semata-mata saya ingat dawuh salah seorang ulama bahwa satu doa Ibu lebih baik dari 70 doa wali qutb sehingga saya rasa doa yang Emak panjatkan buat saya terasa dasyat melainkan urutan diksi atau susunan katanya -- selamat, sukses, dunia, akhirat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline