Korupsi: Catatan Kaki Buat Orde Paling Baru
Judul : Orang-Orang Proyek
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kedua, Oktober 2015
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-602-03-2059-5
Seperti sebuah pepatah, "api padam, puntung berasap" meskipun rezim lama sudah berganti, berita kasus korupsi mengudara lagi. Potensi bahaya laten korupsi pada kekuasaan inilah yang diabadikan Ahmad Tohari dalam karyanya Orang-Orang Proyek. Novel yang rampung ditulis pada 2001 dan diterbitkannya pada 2002 tersebut menjadi catatan kaki ironi pembangunan rezim Orde Baru yang sangat penting untuk pembangunan setelah reformasi.
Berbeda dengan novelnya terdahulu, Di Kaki Bukit Cibalak (1986) yang mengangkat tema serupa, novel Orang-Orang Proyek lebih tajam membedah praktek korupsi di berbagai golongan. Dari gologan buto atau raksaksa sampai golongan keroco atau jelata. Mengambil latar waktu tahun 1990, Tohari melukiskan dengan sangat apik potret-potret ekspresi manusia selama pembangunanisme. Potret kebahagiaan-kebahagiaan kecil masyarakat kampung yang berharap kemanfaatan dari proyek pembangunan jembatan dan potret kerakusan, keculasan yang menyertainya. Ada potret warga kampung menjadikan proyek sebuah hiburan tersendiri karena kagum dengan adanya suasana baru yang ramai di tengah suasana kampung yang adem ayem. Ada potret warga setempat dan warga luar senang karena terserap tenaganya meskipun hanya sebagai kuli kasar. Ada potret warga senang dengan kemudahan akses transportasi, akses ekonomi, akses pendidikan yang akan diterimanya setelah hampir empat puluh empat tahun setelah jembatan kampung diledakkan dalam Agresi Militer 1948. Ada potret keterancaman hilangnya mata pencarian seorang pemilik rakit penyebrangan. Ada potret orang terpelajar pemborong proyek, kader partai yang mengutuk kemiskinan dan memperkaya diri dengan korupsi.
Melalui tokoh insinyur, mantan aktivis kampus, Tohari langsung melancarkan kritik mendasar terhadap pembangunan yang tak bebas korupsi hanya akan memberikan kerugian bagi negara dan masyarakat. Pada duapuluh halaman pertama, Kabul mengudar rasa kepada Pak Tarya, seorang pensiunan pegawai kantor Penerangan jika ongkos jutaan rupiah membangun tiang pancang jembatan beberapa hari lenyap seketika lantaran hitung-hitungan politis peningkatan elektabilitas parpol penguasa, mengabaikan hitungan potensi teknis kelancaran, keberhasilan proyek. Kabul menerangkan, "Karena kerugian itu sesungguhnya bisa dihindarkan bila awal pelaksanaan pembangunan jembatan itu ditunda sampai
musim kemarau tiba beberapa bulan lagi. itulah rekomendasi dari para perancang. namun rekomendasi itu diabaikan, konon demi mengejar waktu...Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum Pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmianya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik" (halaman 11).