Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Pendidikan pada Konstitusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia, memerdekaan manusia dari semua bentuk penjajahan. Sekolah bukan hanya milik orang kaya yang memang memiliki akses tapi untuk semua. Banyak orang dengan segala upaya untuk memperolehnya, sehingga pemerintah harus menjamin akses pendidikan yang adil dan merata bagi semua warganegara. Namun, keberadaan pendidikan terutama perguruan tinggi, kini sedang digugat masyarakat karena biaya yang dianggap mahal.

Dimana Anak-Anak Miskin dan Bodoh Sekolah di Tanah Air

Jared Bernstein dalam All Together Now: Common Sense for a Fair Economy (2006) mengatakan bahwa menolong orang miskin untuk memperoleh pendidikan yang baik dan layak merupakan jawaban maksimal untuk menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara. Ciri ke arah perbaikan sistem pendidikan itu adalah equality of access to educational oppotunity; fairness in the distribution of educational curricula and materials; teacher’s code of conduct.

Fakta keterbatasan akses pendidikan bukan barang baru di negeri ini. Data Kemdikbud menunjukan jumlah lulusan SMP sederajat tahun 2011 sebanyak 4,2 juta siswa. Padahal, daya tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1 juta, jadi ada 1,1 juta siswa yang tidak mendapat kursi. Agar semua siswa lulusan SMP tertampung di SMA/SMK sederajat, membutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun. Setiap tahun ada 51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Tahun 2010 Kemdikbud mendata, penduduk Indonesia yang berusia kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta orang. Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda yang mesti kuliah. Lalu ke mana mereka-mereka ini? Padahal, pendidikan adalah eskalator perubahan sosial (http://graaltaliawo. blogspot.com).

Permasalahan juga muncul ketika proses penerimaan murid didasarkan sistem DANEM/UN/test, karena sistem ini hanya mengakomodir tiga tipe siswa yaitu; a) anak kaya dan pintar, b) anak pintar tapi miskin, c) orang bodoh tapi kaya. Sedangkan anak miskin dan bodoh tidak pernah terakomodasi kedalam sistem yang ada, sehingga mereka semakin termarjinalkan. Satu-satunya peluang terbuka bagi mereka disekolah swasta yang tidak bermutu dan secara lokasi berada pada pinggiran kota dan daerah terpencil. Mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktuk sosial sejak awal tidak memberi kesempatan untuk melakukan mobilitas horizontal dan vertical. Kekecewaan anak-anak ini akan teraktualisasikan dalam tindakan yang kita sebut “kenakalan” seperti tawuran antar pelajar (Darmaningtyas, 2005).

Kita dapat belajar dari Sekolah Sukma Bangsa di Aceh. Meskipun sekolah ini memiliki lebih dari standar fasilitas nasional, tetapi input siswanya berasal dari kalangan korban tsunami dan konflik, tetapi dari yang miskin dan piatu. Sebab para pengelola sadar betul, mendidik anak pintar dan miskin telah banyak dilakukan sekolah mana saja dengan cara memberi beasiswa. Apalagi mendidik anak pintar dan kaya, semua jenis sekolah unggul di kota besar sudah melakukannya secara komersil. Tetapi memberi beasiswa bagi anak bodoh dan miskin kesempatan menikmati kemegahan sarana belajar mengajar seperti di Sukma adalah sesuatu yang bisu dan sepi untuk dilakukan oleh siapun dinegeri ini (http://www.kickandy.com/)

Kemauan dan Kemampuan Pemerintah dalam Membiayai Pendidikan

Keluhan masalah pendidikan berkutat pada persoalan rendahnya anggaran pendidikan. Keluhan itu seakan meniadakan unsur lain yang cukup signifikan berkontribusi terhadap buruknya pendidikan dinegeri ini, seperti lemahnya kemampuan pengelolaan pendidikan nasional; kemahnya kemampuan manajerial dalam bidang keuangan yang menyebabkan inefisiensi cukup besar; kecenderungan kapitalisme pendidikan; serta hegemoni politik dan penguasa yang hingga tingkat paling bawah.

Di negara ASEAN anggaran pendidikan Indonesia memang dalam kategori terendah terutama bila dibandingkan jumlah penduduknya. Namun kenyataanya anggaran pendidikan tiap tahun tidak pernah habis, selalu tersisa mencapai ratusan miliar. Anggaran pendidikan membutuhkan pengelolaan yang baik, bila para pengelolanya masih bersikap korup, kolusi, dan project oriented serta kurang memiliki kemampuan manajerial. Maka anggaran pendidikan yang besar hanya menjadi ladang untuk merauk keuntungan sebesar-besarnya dan boomerang bila tidak melalui perencanaan yang matang.

Memang beban anggaran pemerintah besar untuk kesemua bidang, namun kita tidak boleh berhenti meneriakan tanggungjawab pemerintah untuk membiayai pendidikan. Sebab selain faktor objektif (utang, krisis dst) ada juga faktor subjektif yang perlu kita kritisi, kurang pekanya aparat pemerintah terhadap penderitaan rakyat dan ketidakadilan sosial. Hal ini juga menunjukan pendidikan belum menjadi prioritas utama (political will) dalam agenda pembangunan nasional (Darmaningtyas, 2005).

Liberalisasi Pendidikan

GATS (General Agreement on Tarrifs and Services) adalah salah satu isyu dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM)ke-IV WTO 2005 di Hongkong, dimana penyediaan jasa pendidikan merupakansalah satu dari 12 sektor jasa yang akan diliberalisasi. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa menghindar dari perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan.Jalan masuk investasi asing kedunia pendidikan dirintis melalui Sisdiknas (2003) dan dirinci dalam UU Guru dan Dosen, dipertegas dengan UU Pemanaman Modal dan RUU BHP yang dilengkapi dengan Perpres no. 76 dan no. 77 RI tahun 2007. Hal itu sebetulnya menunjukan terdapat pihak asing yang memperoleh keuntungan luar biasa dengan model jasa pendidikan yang telah di identifikasi oleh WTO dalam 4 bentuk layanan: a) cross border supply, layanan internet dan on line degree program (di dukung sosialisasi, pengembangan ICT dan e learning), b) consumtion abroad, belajar di luar negeri (di dukung RSBI, internasional university), c) commercial presence, kehadiran layanan pendidikan asing di negara konsumen (UU BHP), d) presence of natural persons, kehadiran pengajar asing di negara konsemen (UU Guru dan Dosen). Semuanya bagi kepentingan dan keuntungan negara asing (Amerika, inggris, Australia, New Zealand, Jepang dan negara lain) yang dapat keuntungan dari model perdangan pelayanan pendidikan seperti tersebut di atas.

Perbaikan kualitas pelayanan dan keterbatasan anggaran menjadi alasan pemerintah untuk meliberalisasikan pendidikan. Melihat persoalan ini rakyat harus mengingatkan kepada pemerintah bahwapendidikan bukanlah barang dagangan, apalagi “dijual” dan diserahkan kepada bangsalain untuk mengelolanya. Secara umum praktek liberalisasi pendidikan di Indonesia tercermin melalui a)pendidikan terkotak-kotak,b) internasionalisasi,c)siswa kehilangan jati diri, d) ideologi bangsa tidak tersalurkan, e) peran guru terdistorsi, f) market orienter, g) minimalisasi peran pemerintah, h) intervensi pihak asing (Setiawan, tt).

Bila dicermati saat ini ada pola mekanisme kerja yang sama antara pengelolaan supermarket dengan sekolah/universitas, dimana cepat lulus dan bekerja sebagai ukurannya. Secara nasional keberhasilan pendidikan di ukur dari jumlah lulusan yang terserap di dunia industri, padahal manusia itu multidimensi sehingga tidak dapat diseragamkan dalam satu warna, tujuan dan hasrat. Beberapa praktik mekanisme kerja kapital di sekolah itu sangat halus, tidak kentara, sehingga tidak pernah kita sadari seperti pada kasus serikut; karya wisata, seragam sekolah, iuran sekolah, buku paket/ LKS (Darmaningtyas, 2005).

Kembali Ke Pendidikan yang Disemangati Pembukaan UUD 1945

Semangat pendidikan yang memerdekakan yang oleh para pendiri Boedi Utomo dijadikan alat untuk menghapuskan penjajahan dari bumi pertiwi tetap dipegang teguh. Semangat itu tercantum dalam Pembukaan UUD 45 “…..melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kepada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…” untuk dijadikan satuan dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Sebagai bangsa kita menyadari betapa staatsfundamentalnorm yang terkandung dalam Pembukaan UUD 45 telah meyimpang dalam pelaksanaanya.

Menurut Tilaar, kekacauan perencanaan pendidikan dikarenakan belum mempunyai visi pembangunan yang jelas. Misalnya UU Rencana Jangka Panjang Nasional 2005-2025 merumuskan sasaran pokok dalam 20 tahun mendatang antara lain terwujudnya daya saing bangsa untuk mencapai masyarakat sejahtera. Padahal nilai-nilai Pancasila di dalam UUD 45 bukan menekankan pada persaingan tapi kerjasama. Didalam kebersamaan itu kita dapat meningkatkan daya saing bangsa. Paradigma yang mendasari Renstra tersebut adalah neoliberalisme. Ia ingin membina bangsa yang bisa bersaing. Ia mendasarkan pada epistema ekonomi dan politik, bukan pegagogis. Pendidikan dianggap organisasi bisnis yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan  dalam jangka yang cukup cepat, maka dapat di prediksikan pendidikan kita makin jauh dari amanat UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sofian Effendi mengatakan  pada orde reformasi hubungan negara dengan masyarakat dalam bidang pendidikan mengalami perubahan yang cukup besar dan menyimpang dari ketentuan konstitusi. Karena pengaruh globalisasi yang ditunggangi oleh semangat fundamentalisme pasar, pendidikan tidak lagi sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa atau suatu proses pemerdekaan manusia tapi mulai bergeser menuju komoditas pendidikan. Tujuan pendidikan nasional mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi lebih terfokus pada menghasilkan lulusan yang menguasai scientia, walaupun belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan bangsa, tetapi kurang membekali peserta didik dengan semangat kebangsaan, keadilan sosial, serta sifat-sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara. Selain itu juga terjadi distorsi proses, distorsi mutu dan relevansi dan distorsi pendekatan.

Jika kita sepakat bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk menguasai pengetahuan dan teknologi serta sekaligus menyemaikan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, serta nilai universal maupun nasional, pemerintah Indonesia harus berani bersikap dan menetapkan; a) pendidikan bukanlah bidang usaha tetapi upaya sosial, politik dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. b) pendidikan dasar dan menengah adalah bidang layanan yang menjadi kewajiban pemerintah bukan bidang usah yang perlu di liberalisasikan. c) upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi haruslah dilakukan dalam rangka internasionalisasi akses kepada pendidikan tinggi bermutu melalui kerjasama sosio-kultural yang dilandasi sikap nasionalisme yang kuat, dilakukan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi lain.

Pendidikan telah kehilangan ruhnya sebagai jembatan stransformasi sosial akibat carut-marutnya malpraktik yang dilakukan oleh penguasa dan praktik pendidikan di lapangan. Tidak ada jalan keluar selain, kita harus mengembalikan pendidikan pada filosofi dasar pendidikan, UUD 45 serta konsep-konsep dasar founding fathers seperti Ki Hajar Dewantoro yang mengatakan “pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri”

Daftar Rujukan

BSNP. 2006. Standar Biaya Pendidikan Biaya Operasi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: DEPDIKNAS.

Bernstein, Jared. 2006. All Together Now: Common Sense for a Fair Economy. US: Berrett-Koehler Publishers

Darmaningtyas.2005. Pendidikan Rusak-rusakan. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Akasara Yogyakarta

http://graaltaliawo.blogspot.com/2011/07/pendidikan-masih-jadi-barang-mewah.html

(di unduh 18 February 2012)

http://www.kickandy.com/friend/4/37/2174/read/Pendidikan-dan-Kemiskinan.html

(di unduh 19 February 2012)

Saksono, Gatut.2008. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa.Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas

Setiawan, Dani.tt. Makalah Liberalisasi Pendidikan dan WTO (on line)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline