Jurnalistik Berkualitas, Sebuah Tantangan Media Massa
Oleh : Eko Sumardi, Pengajar Ilmu Komunikasi Universits Budi Luhur
Sejumlah riset menunjukan perbedaan jenis konten media dapat berpengaruh pada khalayak dengan cara berbeda. Arianna Huffington, founder dari salah satu media online terbesar di Amerika Serikat The Huffington Post mempertanyakan salah satu asumsi dalam konteks jurnalistik yang menyatakan : berita buruk selalu lebih menjual daripada berita baik atau "if it bleeds, it leads".
Sejatinya, media massa sebisa mungkin menyajikan berita, baik fakta dan cerita dengan nuansa lebih manusiawi, inspiratif, berempati, bermakna dan solutif. Namun ketika khalayak terus-menerus dibombardir berita yang pesimis dan negatif, maka terdapat kemungkinan akan terciptanya khalayak yang lelah, apatis, acuh, dan cenderung untuk menarik diri dari realitas (Huffington, 2015).
Maraknya media online mengakibatkan konten media bukan lagi monopoli pemilik industri media maupun produk jurnalistik. Para pengguna media yang membuat konten lewat media sosial mereka juga bisa memonopoli. Kelahiran berbagai platform media sosial yang mengusung konsep "konten yang dibuat pengguna" (Murthy, 2012).
Akibatnya, konten yang tersebar secara online memunculkan hoaks dan fakenews terutama jelang tahun politik memunculkan "kerumitan baru" sehingga permasalahan yang tidak mudah diluruskan. Meski edukasi dan literasi penjelasan cara bermedia sosial yang baik, tetap saja hoax dan feaknews masih kerap berseliweran di media sosial.
Kehadiran digital memang memuat jurnalistik kian berkembang. Kemudahan dan kecepatan penyebaran informasi tak diragukan. Dalam hitungan menit saja, sebuah peristiwa atau pendapat sudah bisa disajikan dalam bentuk berita untuk dikonsumsi pembaca. Hanya saja kecepatan penyajian berita berpotensi mengorbankan keakuratan sebuah berita. Ini yang kerap dikhawatirkan sebagian praktisi dan masyarakat pengonsumsi informasi.
Era sekarang, ketika jurnalistik digital mulai digemari publik lantaran kecepatan penyampaian informasi. Salah satu dampak maraknya media online adalah pencarian berita berbasis algoritma. Judul-judul berita lebih banyak menggunakan kata-kata tertentu yang sudah familiar dikenal algoritama sehingga lebih sering muncul. Kondisi tersebut berimbas pada bisnis media cetak yang mengalami penurunan penjualan.
Data Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) menyebutkan, dari 434 media yang merupakan anggota SPS per Mei 2022, terdapat 71 persen perusahaan media cetak yang mengalami penurunan omzet hingga lebih dari 40 persen. Perubahan pasar media ke arah digital tersebut telah memaksa perusahaan media cetak mendirikan media online. Transformasi konten berbasis digital tersebut penting dibangun demi menjaga kedekatan media dengan khalayak atau audiens meski tidak mudah.
Kerumitan juga muncul pada era media sosial saat ini lantaran konten berita pada media online yang hanya dikonsumsi tidak berhenti pada satu pembaca. Satu pembaca dengan prinsip like and share dapat disebarkan pembaca kepada jaringannya yang lebih luas. Kondisi tersebut mengakibatkan penyebaran konten tidak lagi bergantung pada produsen konten media namun sudah bergeser ke khalayak. Di sinilah proses jurnalistik tidak diterapkan.
Kegiatan jurnalistik mulai dari menulis berita dengan menaati kode etik, proses editing hingga check and recheck fakta di lapangan, ditinggalkan. Bila hal tersebut tidak diluruskan akan berdampak pada pemahaman publik yang salah terhadap sebuah berita.