Lihat ke Halaman Asli

E Fidiyanto

Wartawan Muda

Matinya Nurani Para Politisi

Diperbarui: 25 April 2019   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

(Antara Penjaga dan Pengacau Demokrasi)

Kontestasi Pemilu tahun 2019 agaknya lebih sengit dibanding Pemilu tahun 2014. Ngaceng politik memaksa para pendukung kontestan saling serang, menjadi fanatik. Seolah kewarasan kita tergadaikan dalam prosesi demokrasi lima tahunan ini. 

Kabar hoax dari situs internet mudah diakses, dari kalangan anak-anak sampai usia tua. Itu menjadi amunisi saling menyerang lawan. Secara tak sadar kita memaksa anak-anak untuk saling membeci. Terjadilah, kemunduran untuk saling menghormati. Semua itu, tak lepas dari peran para politisi yang mati hati nuraninya.

Menjadi ironi, ketika para penyelenggara dan orang yang bertugas mengamankan Pemilu 2019, satu per satu gugur. Petugas KPPS, Polisi, dan lainnya mempertaruhkan nyawa demi lancarnya Pemilu. Tak sedikit pula yang kini melawan kelelahan di ranjang rumah sakit. Mereka mengawal Pemilu, dari pendistribusian logistik hingga penghitungan suara dengan sangat hati-hati. Demi negara demokrasi! Sementara para poli(tikus) berkoar soal kecurangan Pemilu. Tak ada ucapan rasa belasungkawa yang keluar dari mulut busuk mereka.

Soal penghitungan suara, KPU sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengawal penghitungan dengan tahapan per tahapan yang ketat. Mulai di TPS hingga tahapan selanjutnya, hasil penghitungan ditandatangani semua saksi dari masing-masing partai politik. Jika ada kejanggalan, di tingkat PPK pun masih bisa protes dengan catatan memiliki bukti yang kuat. Bahkan, negara memfasilitasi untuk menggugat dengan cara yang sesuai konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK) jika terjadi kecurangan.

Begitu ketatnya penghitungan suara, masih diteriaki terjadi kecurangan? Semua poli(tikus) maupun pendukungnya saling klaim menang. Rupanya, mereka masih kekanak-kanakan untuk mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk membangun bangsa ini. Hingga langkah-langkah konstitusional pun hampir kerapkali diselangkangi oleh mereka. Cara-cara kotor demi kekuasaan dilakukan dengan selalu menyematkan agama, padahal mereka saling ngotot merebut kekuasaan dunia.

Apa susahnya menunggu dengan sabar hasil resmi dari KPU? Jika tak ada lagi yang dipercaya, untuk apa ikut dalam kontestasi demokrasi ini? Perlu diingat, ini kontestasi sesuai amanah konstitusional negara. Biarlah KPU menuntaskan tugasnya. Lagipula, ini sudah era transparansi, di mana semua informasi bisa di akses dengan mudah. Bahkan, untuk menyebarkan berita kebohongan pun semudah membalikkan telapak tangan.

Petugas KPPS Pemilu tahun 2019 ini sudah rela mengikuti Bimtek sampai larut malam. Harus memahami ruwetnya mekanisme pengisian berita acara, hingga ratusan tanda tangan (C6, Plano, Dan BA) dan seterusnya yang harus dikerjakan dengan penuh ketelitian. Belum lagi, jika ada selisih satu angka saja, semua harus dihitung ulang. Sebab, semua itu dipelototi saksi masing-masing partai politik. Penghitungan suara dilakukan dengan cara manual, yang kecil kemungkinan untuk berbuat curang.

Penyelenggara dan Pengamanan Pemilu  (Panwas, PPS, KPPS, TNI, dan Polisi, serta saksi) mengawal jalannya Pemilu mulai H-1 dengan penuh tanggung jawab selama 24 jam nonstop. Mereka bekerja dengan tidak memikirkan keluarga, bahkan rela menginap di kantor kelurahan. 

Namun hati nurani para poli(tikus) di negeri ini sudah dibutakan oleh haus kekuasaan. Hingga sampai kini, masih saja menuduh terjadi kecurangan. Mereka tak peduli berapa nyawa yang melayang, baik Petugas TPS, Linmas, Polri, Panwascam serta yang lainnya. Jumlahnya sudah mencapai ratusan nyawanya melayang. Belum lagi yang masih terbaring di ranjang rumah sakit lantaran kelelahan.

Di bawah sudah bertarung mati-matian mengawal jalannya Pemilu. Sementara pengacau demokrasi masih saja rebutan kekuasaan demi melenggang ke istana maupun senayan. Tak ada doa untuk mereka selain berbalik pada perkataan yang keluar dari mulut busuknya. Sebab di sini, masyarakat bisa menilai dan membedakan antara pejuang atau penjaga demokrasi dengan pengacau demokrasi yang sesungguhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline